LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Memunculkan Kembali Wacana Pajak Lingkungan

Redaksi DDTCNews
Selasa, 03 November 2020 | 14.10 WIB
ddtc-loaderMemunculkan Kembali Wacana Pajak Lingkungan

Endiyanto Yoga Prasetya,

Surakarta, Jawa Tengah

SELAMA 9 bulan, Indonesia diterpa pandemi Covid-19. Dampaknya tidak hanya dirasakan sektor kesehatan, tetapi juga sektor ekonomi. Sektor yang selama ini menjadi pundi-pundi penerimaan pajak tersungkur dihantam pandemi. Akibatnya, realisasi penerimaan pajak meleset di bawah target.

Tersungkurnya sektor-sektor andalan itu memaksa pemerintah mencari sektor potensial. Baru-baru ini, Kementerian Keuangan memberlakukan pajak bagi pelaku ekonomi digital. Potensi pajak Rp10,4 triliun pada sektor ekonomi digital dipandang sebagai kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.

Langkah Kemenkeu menarik pajak digital patut diapresiasi. Namun, Kemenkeu tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pendapatan pajak ekonomi digital. Perlu ada sektor lain yang mampu mendongkrak pendapatan selain dari sektor ekonomi digital. Salah satunya sektor lingkungan hidup.

Wacana ini sebenarnya bukan wacana yang baru. Dua tahun lalu, sebelum Pemilu 2019, terdapat momentum bagi Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk berkomitmen pada lingkungan hidup dengan memperkenalkan instrumen pajak lingkungan hidup.

Namun, momentum itu disia-siakan. Padahal, dalam masa pemerintahannya, Presiden Jokowi kini dihadapkan pada banyaknya alam Indonesia yang mengalami kerusakan. Salah satu yang terbesar adalah kebakaran hutan dan lahan di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatra pada 2019.

Munculnya pandemi Covid-19 menjadi momentum kedua untuk mempertimbangkan kembali pengenaan pajak lingkungan hidup. Bila 2 tahun lalu wacana pajak lingkungan hidup dilihat dari sisi politik, kali ini pajak lingkungan hidup dapat dilihat dalam lingkup yang lebih luas.

4 Alasan
TERDAPAT paling tidak 4 alasan yang menunjukkan mengapa pajak lingkungan hidup perlu untuk dipertimbangkan. Pertama, pendapatan dari pajak lingkungan hidup sangat rendah. Di Indonesia, penyumbang terbesar pajak lingkungan hidup berasal dari pajak kendaraan bermotor (PKB).

Pada 2016, kontribusi PKB terhadap pendapatan domestik bruto Indonesia hanya 0.8%, kecil bila dibandingkan dengan Turki, Brasil, dan Chile (Naifular, 2019). Hal ini mengindikasikan masih ada sektor lain yang berpotensi menjadi objek pajak lingkungan hidup.

Kedua, kerusakan lingkungan terus terjadi. Meski membatasi ruang gerak manusia, pandemi Covid-19 tidak menghentikan laju kerusakan lingkungan. Kita masih melihat misalnya, anak Sungai Bengawan Solo tetap mengalami pencemaran berat akibat limbah yang dibuang oleh industri tekstil.

Ketiga, pajak lingkungan hidup sebagai penekan industri. Minimnya tekanan pada industri nakal menyebabkan laju kerusakan alam terus berlanjut. Pajak lingkungan hidup akan menekan industri untuk memilih mengolah limbahnya atau membayar pajak lingkungan hidup yang tidak sedikit.

Keempat, pajak lingkungan hidup sebagai pelindung masyarakat marginal. Selain terpinggirkan dari ekonomi, masyarakat marginal juga terpinggirkan dari berbagai pelayanan dasar. Kondisi ini diperparah dengan pandemi Covid-19 yang menyebabkan masyarakat marginal rentan terpapar

Hadirnya pajak lingkungan hidup dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mendekatkan pelayanan ke masyarakat marjinal. Dalam konteks pandemi Covid-19, pajak lingkungan hidup bisa digunakan untuk memperkuat sistem kesehatan sekaligus mengurangi kerentanan masyarakat marjinal.

Inilah 4 alasan mengapa pajak lingkungan hidup penting kembali dipertimbangkan. Sangat bijak jika pemerintah tidak menyia-nyiakan momentum kedua ini, Di tengah semangat memulihkan ekonomi, pemerintah tidak boleh lupa ada lingkungan dan masyarakat marginal yang harus dilindungi.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.