SEBAGAI salah satu bentuk pemajakan modern yang perkembangannya terbilang pesat (Ebrill, et al, 2001), diskusi tentang pajak pertambahan nilai (PPN) selalu menarik untuk disimak. Pasalnya, meski tergolong familier, tidak banyak yang memahami konsep dasar penerapan PPN itu sendiri. Salah satunya mengenai ruang lingkup dari pengenaan PPN.
Sebagaimana dikutip dari Thuronyi (2003), PPN merupakan pajak atas “transaksi”. Dengan kata lain, ruang lingkup dari pengenaan PPN adalah transaksi. Lantas, transaksi seperti apa yang dikenai pajak atas konsumsi ini?
Transaksi yang Dikenai PPN
Pada dasarnya, PPN dirancang untuk dikenakan atas setiap jenis transaksi ekonomi, terbatas pada transaksi yang dikecualikan. Tujuan ini biasanya dicapai dengan menyusun ketentuan yang memberlakukan PPN atas berbagai macam transaksi bisnis dan menetapkan batasan atas transaksi tertentu yang dikecualikan dari pengenaan PPN (Quan Min, 2015).
Dalam literatur PPN berbahasa Inggris, transaksi yang dikenai PPN disebut dengan istilah taxable transactions. Sementara itu, berdasarkan konsepnya, istilah ini mengacu pada beberapa transaksi (Pato dan Marques, 2015).
Pertama, penyerahan barang yang dapat berupa barang berwujud dan barang tidak berwujud serta barang bergerak dan barang tidak bergerak. Nyatanya, tidak semua penyerahan barang dapat dikenai PPN. Namun, menurut de le Feria dan Krever (2013), hanya penyerahan barang yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat digolongkan sebagai penyerahan yang terutang PPN (scope of VAT supplies).
Tidak heran jika VAT Directive yang merupakan ketentuan bersama terkait PPN di Uni Eropa menetapkan lima syarat kumulatif yang harus dipenuhi untuk menentukan apakah suatu penyerahan barang termasuk penyerahan yang terutang PPN.
Syarat tersebut terdiri dari: (i) transaksi yang dimaksud harus memenuhi kriteria sebagai penyerahan barang, (ii) penyerahan tersebut harus memiliki “nilai”, (iii) penyerahan harus dilakukan di dalam wilayah teritorial dari negara yang bersangkutan, (iv) penyerahan tersebut harus dilakukan oleh PKP, dan (v) PKP harus melakukan kegiatan penyerahan tersebut dalam ruang lingkup aktivitas ekonomi yang dilakukannya.
Tidak terpenuhinya salah satu dari lima syarat di atas menyebabkan suatu penyerahan barang dianggap sebagai penyerahan yang berada di luar ruang lingkup PPN (outside the VAT scope) sehingga tidak terdapat kewajiban PPN apapun yang harus dipenuhi.
Kedua, penyerahan jasa. Untuk tujuan pengenaan PPN, penyerahan jasa diartikan secara unik. Yaitu, setiap transaksi yang bukan merupakan transaksi penyerahan barang (Melville, 2001). Dengan kata lain, semua penyerahan yang bukan penyerahan barang digolongkan sebagai penyerahan jasa.
Disusunnya definisi penyerahan jasa sedemikian rupa tidak lain bertujuan untuk mencegah suatu transaksi penyerahan tidak masuk dalam ruang lingkup PPN karena tidak dapat digolongkan sebagai transaksi penyerahan barang atau penyerahan jasa (Schenk dan Oldman, 2007). Itulah sebabnya beberapa negara, seperti United Kingdom (UK) dan Singapura, mengadopsi definisi ini.
Sama halnya dengan penyerahan barang. Untuk menentukan apakah suatu penyerahan jasa dikenai PPN atau tidak, VAT Directive juga menetapkan lima syarat kumulatif yang identik dengan syarat penyerahan barang yang dikenai PPN. Perbedaan hanya terletak pada syarat pertama. Yaitu, transaksi yang dimaksud harus memenuhi kriteria sebagai penyerahan jasa.
Ketiga, impor yang mencakup impor barang maupun jasa. Berdasarkan istilahnya, impor diartikan sebagai kegiatan pemasukan barang atau jasa dari luar negeri ke dalam negeri. Dengan kata lain, impor merupakan salah satu bentuk transaksi yang terjadi secara lintas batas atau dikenal dengan istilah cross-border transaction.
Secara konsep, pengenaan PPN atas impor di suatu negara bergantung pada prinsip pemungutan PPN yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Yaitu, prinsip destinasi atau prinsip asal.
Jika suatu negara menganut prinsip destinasi, pengenaan PPN atas impor diperlakukan sama dengan pengenaan PPN atas penyerahan di dalam negeri (Terra, 1988). Dengan demikian, kecuali untuk impor yang dibebaskan dari PPN, seluruh impor dikenai PPN dengan tarif standar, terlepas dari pertimbangan apakah impor tersebut dilakukan oleh PKP atau bukan. Sebaliknya, jika negara tersebut mengadopsi prinsip asal, impor dari barang ataupun jasa tidak dikenai PPN atau dikenai PPN dengan tarif 0% (Shoup, 1990).
Keempat, ekspor yang terdiri dari ekspor barang dan jasa. Sama halnya dengan impor. Ekspor juga merupakan bentuk transaksi yang terjadi secara lintas batas sehingga pengenaan PPN atas transaksi ini bergantung pada prinsip pemungutan PPN yang diadopsi oleh suatu negara.
Jika mengacu pada prinsip destinasi, ekspor barang maupun jasa tidak dikenai PPN atau dikenakan, tetapi dengan tarif 0%. Pengenaan PPN dengan tarif 0% ini berarti pihak penjual atau eksportir yang memungut PPN atas ekspor tetap dapat mengkreditkan pajak masukannya (Tait, 1998). Itulah sebabnya di negara Uni Eropa, PPN tarif 0% disebut dengan istilah exemption with credit (William, 1996). Sementara itu, di negara yang menganut prinsip asal, PPN dengan tarif standar akan dikenakan atas ekspor barang dan jasa selama diproduksi di dalam negeri (Kendall, 2006).
Meskipun konsepnya telah diatur dengan jelas, faktanya, penerapan PPN atas ekspor tidak terlepas dari permasalahan. Seringnya, permasalahan tersebut timbul dari penerapan PPN tarif 0% atas ekspor jasa yang dianggap rentan akan penyalahgunaan. Alasannya, melakukan pengawasan serta pemeriksaan apakah suatu jasa benar-benar telah diekspor bukanlah perkara mudah.
Sebagai solusinya, beberapa negara telah menetapkan batasan atau syarat yang harus dipenuhi agar suatu ekspor jasa dapat dikenai PPN dengan tarif 0%. Sebagai contoh, Australia mengatur bahwa pengenaan PPN tarif 0% hanya diterapkan apabila penyerahan jasa dilakukan kepada pihak yang tidak bertempat kedudukan di Australia dan jasa tersebut dimanfaatkan di luar Australia (Peacock, 2016).
Terakhir, transaksi yang dianggap sebagai kegiatan penyerahan (deemed supply). Yaitu, transaksi yang umumnya dilakukan tanpa adanya “nilai”, tetapi tetap dianggap sebagai penyerahan (Franklin, 2012). Dalam PPN, transaksi ini mengacu pada pemberian cuma-cuma dan pemakaian sendiri.
Transaksi yang Tidak Dikenai PPN
Selain transaksi yang dikenai PPN, dalam penerapannya ada pula transaksi-transaksi yang dikecualikan dari pengenaan pajak ini. Secara sederhana, transaksi yang tidak dikenai PPN adalah transaksi yang tidak memenuhi syarat untuk dikenai PPN. Namun demikian, terdapat pula transaksi yang secara khusus dikecualikan dalam PPN. Dengan kata lain, transaksi tersebut berada di luar ruang lingkup pengenaan PPN (outside the scope of VAT).
Pada dasarnya, setiap negara berdaulat menentukan transaksi apa saja yang tidak dikenai PPN. Misalnya, VAT Directive mengatur secara spesifik transaksi yang tidak termasuk dalam cakupan PPN sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 VAT Directive. Namun, beberapa literatur, seperti VAT Exemptions Consequences and Design Alternatives oleh de la Feria dan Krever (2013) memberikan beberapa contoh dari transaksi ini.
Pertama, pemberian imbalan atas dasar suatu perjanjian untuk tidak saling bersaing. Kedua, transaksi yang dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab ekonomi dan sosial dari suatu entitas. Ketiga, pengambilalihan suatu aset atau harta yang pengambilalihan tersebut disebabkan karena adanya kewajiban (bukan atas kesukarelaan) dari pihak pemilik aset atau harta tersebut (Edmundson, 2003).