ANALISIS PAJAK

Melirik Indirect Method dalam Pemeriksaan

Redaksi DDTCNews
Kamis, 12 September 2019 | 14.04 WIB
ddtc-loaderMelirik Indirect Method dalam Pemeriksaan
DDTC Consulting

BERDASARKAN data statistik yang dirilis Pengadilan Pajak, jumlah sengketa pajak memiliki tren yang cenderung terus meningkat. Perbedaan perhitungan penghasilan kena pajak antara wajib pajak (WP) dan fiskus yang diketahui saat proses pemeriksaan menjadi penyebab awal timbulnya sengketa.

Untuk menurunkan jumlah sengketa pajak dan pada saat yang sama mendorong tercapainya keadilan pajak, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pemeriksaan. Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah melalui penggunaan metode pemeriksaan yang tepat.

Fiskus umumnya menggunakan dua metode pemeriksaan, yakni metode langsung (direct method) dan metode tidak langsung (indirect method). Kedua metode ini sama-sama digunakan untuk menguji kebenaran pos-pos surat pemberitahuan (SPT) pajak termasuk lampirannya.

Perbedaannya, metode langsung dilakukan secara langsung terhadap buku, catatan, dan dokumen lain yang terkait dengan informasi keuangan WP. Sementara itu, metode tidak langsung dilakukan melalui pendekatan penghitungan tertentu.

Fiskus cenderung hanya mengandalkan informasi dalam catatan dan pembukuan yang ditunjukkan WP dalam memeriksa kepatuhan pajaknya. Apabila WP tidak dapat menunjukkan informasi yang memadai atau sengaja menyembunyikannya, fiskus tentu tidak dapat menaksir pajak terutang.

Oleh karena itu, metode tidak langsung sangat dibutuhkan ketika catatan dan pembukuan tidak tersedia atau tidak mencerminkan keadaan finansial WP secara memadai. Dengan metode tidak langsung itu kemudian fiskus dapat menaksir secara tepat pajak terutang WP.

Syarat Indirect Method
PADA sebagian besar negara, hak untuk menggunakan metode tidak langsung berasal dari wewenang yang diberikan parlemen melalui undang-undang kepada otoritas pajak untuk mengelola ketentuan atau peraturan yang relevan.

Di Amerika Serikat misalnya, Mahkamah Agung-nya menyatakan untuk melindungi pendapatan dari pihak yang tidak menyediakan informasi keuangan yang sebenarnya, pemerintah harus bebas menggunakan semua bukti hukum yang tersedia.

Bukti hukum tersebut digunakan untuk menentukan apakah pembukuan dan catatan wajib pajak secara akurat mencerminkan keadaan keuangannya. Metode tidak langsung yang digunakan tidak harus tepat, tetapi harus masuk akal merujuk pada fakta dan keadaan sebenarnya (Biber, 2010).

Meskipun tidak ada keharusan terkait dengan metode apa yang akan digunakan, secara umum dapat dikatakan pengadilan telah memutuskan bahwa fiskus dapat menggunakan metode apa pun untuk menghitung ulang penghasilan kena pajak yang masuk akal.

Fiskus juga tidak boleh sembarangan menggunakan kekuasaan yang diberikan. Ia harus menyelidiki semua bukti yang masuk akal, dan dapat menggunakan catatan pihak ketiga seperti pelanggan atau pemasok. Di sisi lain, WP akan menanggung beban untuk membuktikan penghitungan fiskus keliru.

Satu hal yang penting, ketentuan perundang-undangan juga perlu memberi kekuasaan yang luas bagi fiskus untuk mengumpulkan informasi dalam menjalankan pemeriksaan agar metode tidak langsung dapat digunakan secara efektif.

Fiskus juga harus memiliki kekuatan menuntut agar pihak ketiga dapat menyediakan dokumen, buku, atau catatan yang mungkin berkaitan dengan pemeriksaan, dan untuk menginterogasi pihak ketiga yang mungkin memiliki informasi yang relevan (Yudkin, 1971).

Jika puas dengan akurasi catatan WP, fiskus tidak perlu menggunakan metode tidak langsung. Namun, jika pembukuan WP tidak memadai atau tidak mencerminkan keadaan sebenarnya dan dicurigai ada understated revenue, fiskus harus mempertimbangkan menggunakan metode tidak langsung.

Terdapat beberapa kondisi WP yang menunjukkan perlunya fiskus untuk mengadopsi metode tidak langsung. Pertama, WP tidak dapat menunjukkan laporan keuangan perusahaan dan tidak memiliki pencatatan yang baik. Kedua, penghasilan yang diungkapkan tidak sesuai dengan biaya hidup WP.

Ketiga, pengungkapan pendapatan tidak sesuai dengan aktivitas bisnis perusahaan. Keempat, sebagian besar operasi bisnis menggunakan uang tunai. Kelima, dokumen tidak lengkap, pencatatan buruk, dan kontrol internal lemah (Biber, 2010).

Untuk mendapatkan pemeriksaan pajak yang berkualitas melalui metode tidak langsung, fiskus harus mempersiapkan perencanaan pemeriksaan. Hal ini meliputi (i) mengakses dan menganalisis data baik internal maupun eksternal seperti data pihak ketiga yang mungkin berguna selama pemeriksaan;

Kemudian (ii) mempelajari informasi yang tersedia pada WP dan industrinya; (iii) membuat daftar area berisiko tinggi atau masalah yang dicurigai; dan (iv) merencanakan pendekatan guna mengatasi risiko, termasuk persiapan kuesioner dan lembar petunjuk untuk menilai mana metode pemeriksaan yang akan diadopsi untuk memverifikasi perhitungan WP (Biber, 2010).

Selanjutnya, wawancara, pengamatan kegiatan usaha WP, dan pendokumentasian prosedur audit harus dilakukan agar fiskus dapat membuktikan bahwa hasil pemeriksaan diperoleh dari bukti yang konkret dan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Praktik di Indonesia
TATA cara penggunaan metode tidak langsung dalam pemeriksaan pajak di Indonesia diatur Surat Edaran (SE) Nomor 65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan, setelah ketentuan sebelumnya, yakni PER-04/PJ/2012 dicabut.

Dalam praktik, fiskus jarang menggunakan metode tidak langsung karena bergantung pada pembukuan dan catatan WP yang telah sesuai dengan sistem akuntansi yang berlaku. Metode tidak langsung mungkin lebih mudah ditemukan pada sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Pada sektor usaha itu pencatatannya biasanya belum mengikuti sistem akuntansi yang berlaku, sehingga membutuhkan analisis yang lebih luas dan mendalam untuk memastikan WP telah melaporkan penghasilannya sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Dalam perkembangannya, pemerintah tengah menyiapkan pembaruan sistem inti perpajakan (core tax system) untuk mendukung agenda global soal keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI).

Dengan sistem ini, fiskus akan lebih mudah menggunakan metode tidak langsung dalam memeriksa kewajiban perpajakan WP. Informasi mengenai WP ke depan akan semakin mudah didapat. Lantas, apakah dengan demikian jumlah sengketa pajak akan berkurang? Waktu yang akan menjawab.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.