TIADA pidana tanpa kesalahan. Asas fundamental dari hukum pidana ini merupakan terjemahan dari kalimat geen straaf zonder schuld.
Asas tersebut mulai dikenal sejak 1916 melalui kasus melk en water-arrest yang diputuskan Mahkamah Agung Belanda. Berpijak dari kasus tersebut, tindak pidana bukan hanya dilihat dari perbuatan yang melawan hukum, tetapi juga terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku.
Pada kelas seri sebelumnya telah diulas mengenai beberapa unsur dalam tindak pidana perpajakan. Unsur kesalahan termasuk di dalamnya. Mengacu pada unsur kesalahan, ada 2 bentuk tindak pidana perpajakan berdasarkan pada niat (mens rea) pelaku, yaitu kealpaan dan kesengajaan.
Kelas pada seri kali ini akan mengulas tindak pidana perpajakan karena kealpaan. Secara umum, tindak pidana karena kealpaan itu diatur dalam 2 undang-undang. Pertama, Pasal 38 dan Pasal 41 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kedua, Pasal 24 UU Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Pada bagian penjelasan Pasal 24 UU PBB disebutkan maksud dari kealpaan. Berikut bunyinya:
Kealpaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, dan kurang hati-hati sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara.
Dalam doktrin hukum pidana, kealpaan yang dapat dihukum pidana disebut culpa lata, yakni jenis kelalaian dengan kadar kurang hati-hati sangat besar (sangat lalai). Sementara culpa levis merupakan kelalaian yang tidak dapat dipidana sebab kadar kurang hati-hati yang rendah.
DALAM Pasal 38 UU KUP disebutkan 2 jenis bentuk tindak pidana karena kealpaan. Pertama, kealpaan dalam bentuk tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Kedua, menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar.
Berikut bunyi penggalan Pasal 38 UU KUP:
Setiap orang yang karena kealpaannya:
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, ā¦ .
Kemudian, Pasal 41 ayat (1) UU KUP mengatur mengenai kealpaan yang dilakukan oleh pejabat. Tindak pidana perpajakan karena kealpaan yang diatur dalam pasal tersebut terjadi jika pejabat lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga melanggar kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti berkaitan dengan wajib pajak yang dilindungi UU perpajakan.
Ketentuan tindak pidana perpajakan dalam pasal ini diatur agar memberikan perlindungan hukum serta menjamin kerahasiaan data dan keterangan wajib pajak yang berkaitan dengan pelaksanaan UU perpajakan.
Berikut bunyi penggalan Pasal 41 ayat (1) UU KUP:
Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana ā¦ .
Pejabat yang dimaksud didefinisikan dalam Pasal 34 UU KUP, yaitu baik petugas pajak ataupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan.
Berikut bunyi Pasal 34 ayat (1) sampai (2a) UU KUP:
Ayat (1)
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2a)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
Selain itu, bentuk tindak pidana perpajakan karena kealpaan juga diatur dalam Pasal 24 UU PBB. Ketentuan pidana pajak dalam pasal ini serupa dengan yang diatur dalam Pasal 38 UU KUP karena terdiri atas 2 bentuk tindakan.
Pertama, tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) kepada DJP. Kedua, menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar.
Berikut bunyi penggalan Pasal 24 UU PBB:
Barang siapa karena ke alpaannya:
tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak;
menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga menimbulkan kerugian Negara, di pidana ... .
KEALPAAN dianggap sebagai bentuk kesalahan yang lebih ringan dibandingkan kesengajaan. Oleh karena itu, sanksi atas tindak pidana perpajakan karena kealpaan juga akan lebih ringan.
Selain mengatur mengenai bentuk tindak pidananya, Pasal 38 dan Pasal 41 ayat (1) UU KUP serta Pasal 24 UU PBB juga memuat ketentuan sanksi yang dikenakan. Sanksi yang dikenakan terhadap tindak pidana perpajakan karena kealpaan diatur dalam dua jenis, yaitu sanksi administratif berupa denda dan sanksi pidana berupa kurungan.
Perlu diperhatikan, dalam Pasal 41 ayat (1) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, kedua jenis sanksi tersebut dikenakan secara bersamaan karena ada kata ādanā. Lain halnya dengan ketentuan sanksi dalam pasal lainnya yang mengatur menggunakan kata āatauā.
Berikut perincian sanksi yang dimaksud:
Pada kelas seri selanjutnya akan diulas mengenai detail lain ketentuan pidana perpajakan yang telah masuk dalam definisi sesuai dengan PMK 239/2014 s.t.d.d PMK 18/2021. Ikuti terus Kelas Tindak Pidana Perpajakan di sini. (Fauzara/kaw)