SESUAI dengan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945, segala jenis pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Khusus untuk bea meterai, pengaturan ada dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (UU Bea Meterai). Adapun UU 10/2020 mulai berlaku pada 1 Januari 2021 dan menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (UU 13/1985).
Terkait pengertian bea meterai, Pasal 1 ayat (1) UU Bea Meterai mendefinisikan bea meterai sebagai pajak yang dikenakan atas dokumen. Berdasarkan UU ini, yang dimaksud dengan meterai sendiri diatur dalam Pasal 1 ayat (4), yaitu label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya.
Label atau carik tersebut memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan digunakan untuk membayar pajak atas dokumen. Dokumen tersebut, berdasarkan Pasal 1 ayat (2), meliputi segala sesuatu yang ditulis (biasanya berupa kertas) atau tulisan baik dalam bentuk tulisan tangan maupun cetakan untuk kepentingan tertentu. Definisi ini tidak jauh berbeda dengan ketetapan dalam peraturan yang sebelumnya. Simak ‘Apa Itu Bea Meterai?’
Guna menyesuaikan dengan perkembangan zaman, pada ketentuan dalam UU Bea Meterai yang baru, dokumen juga meliputi segala sesuatu yang ditulis atau tulisan dalam bentuk elektronik. Selain itu, ketentuan baru ini juga lebih spesifik terkait dengan kepentingan dibuatnya dokumen tersebut, yaitu sebagai alat bukti atau keterangan.
Lebih lanjut, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Bea Meterai, untuk melaksanakan pengaturan bea meterai ini harus didasarkan pada lima asas. Kelima asas tersebut antara lain, pertama, asas kesederhanaan.
Secara garis besar, yang dimaksud dengan asas kesederhanaan adalah bahwa pengaturan bea meterai harus dapat memberikan kemudahan pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut termasuk dalam memenuhi hak-hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara.
Kedua, asas efisiensi, yakni pengaturan bea meterai harus berorientasi pada penggunaan sumber daya seminimal mungkin. Namun demikian, tetap diharapkan untuk dapat mencapai hasil kerja yang terbaik.
Ketiga, asas keadilan. Berdasarkan asas ini, pengaturan mengenai bea meterai harus dapat menjunjung tinggi keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak yang terlibat di dalamnya.
Keempat, asas kepastian hukum, yakni pengaturan mengenai bea meterai harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Kelima, asas kemanfaatan. Berdasarkan asas ini, pengaturan mengenai bea meterai diharapkan dapat memberi manfaat bagi kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat. Termasuk juga secara khusus, dapat memberi manfaat dalam memajukan kesejahteraan umum.
Dengan mengacu pada asas-asas tersebut maka diharapkan pelaksanaannya dapat mencapai tujuan pembuatan peraturan ini.
Tujuan Pengaturan Bea Meterai
BERDASARKAN asas-asas sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1), pejabat pemungut bea meterai dengan kerja sama yang baik dari pihak terutang bea meterai diharapkan dapat mencapai tujuan yang diharapkan dari pengaturan ini. Namun, apa saja tujuan dari pengaturan bea meterai dalam peraturan ini?
Terkait hal tersebut, dalam Pasal 2 ayat (2) UU Bea Meterai dijelaskan terdapat lima tujuan yang diuraikan dalam peraturan ini. Pertama, penetapan ketentuan ini bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Hal tersebut dimaksudkan untuk turut membantu pembiayaan pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Kedua, sesuai dengan asas kepastian hukum, pengaturan mengenai bea meterai ini juga bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam pemungutan bea meterai. Ketiga, ketentuan tersebut diharapkan dapat menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini yang telah mengalami perkembangan zaman.
Keempat, mengenakan bea meterai secara lebih adil. Kelima, menyelaraskan ketentuan bea meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang ada saat ini. (faiz) (kaw)