DALAM sistem pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia, pengusaha kena pajak (PKP) dapat membuat faktur pajak gabungan. Kemudahan ini diberikan otoritas pajak untuk meringankan beban administrasi PKP yang melakukan banyak transaksi dalam satu masa pajak.
Merujuk dari Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang (UU) PPN, faktur pajak gabungan adalah jenis faktur pajak standar yang memungkinkan PKP membuat faktur berisi seluruh penyerahan kepada satu penerima barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak selama satu bulan (satu masa pajak).
Faktur pajak gabungan digunakan oleh PKP yang melakukan transaksi lebih dari satu kali dalam satu bulan. Contohnya, PT A dalam satu bulan bertransaksi dengan PT B pada tanggal 1, 5, 10, 13, 19, 24, 27, 29, dan 30 Januari 2019.
Atas penyerahan-penyerahan tersebut seringkali melibatkan ratusan atau ribuan item BKP atau JKP. Untuk itu, faktur pajak gabungan menjadi metode penyederhanaan pencatatan transaksi yang memiliki volume tinggi dalam satu bulan dengan satu pihak yang sama.
Dengan kata lain, penggunaan faktur pajak gabungan akan memudahkan pencatatan bagi PKP karena tidak harus membuat faktur setiap kali ada transaksi. Jika PKP harus membuat satu faktur untuk tiap transaksi penyerahan atas BKP/JKP, maka jumlah faktur pajak yang harus dibuat akan banyak sekali sehingga tidak efisien dari sisi administrasi.
Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak Gabungan
Berdasarkan Pasal 13 UU PPN ayat (2) dan (2a) disebutkan bahwa PKP dapat membuat satu faktur pajak yang meliputi keseluruhan penyerahan kepada pembeli atau penerima BKP/JKP.
Kemudian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak (PMK-38/2010), faktur pajak gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan BKP/JKP.
Membuat faktur pajak gabungan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan faktur standar. Tata caranya dapat mengikuti tata cara pembuatan dan pelaporan faktur pajak masukan biasa yang memuat sejumlah keterangan sebagai berikut:
Untuk tanggal penyerahan, pada faktur pajak gabungan harus diisi dengan tanggal awal penyerahan BKP/JKP sampai dengan tanggal terakhir dari masa pajak periode dibuatnya faktur pajak gabungan. Wajib pajak juga harus melampirkan daftar tanggal penyerahan dari setiap faktur pajak penjualan.
Faktur pajak gabungan dan faktur pajak standar hanya dibedakan berdasarkan penulisannya. Jika pada faktur pajak keluaran biasa hanya terdapat satu transaksi, maka pada faktur pajak gabungan terdapat sejumlah transaksi kepada satu pihak yang sama.
Contoh Kasus Pembuatan Faktur Pajak Gabungan
Contoh 1:
CV. Agung Jaya (berstatus PKP) melakukan penjualan semen kepada CV. Muara Mas pada tanggal 2, 3, 6, 8,14, 21, 26, 27 dan 31 Januari 2019, tetapi sampai dengan tanggal 31 Januari 2019 sama sekali belum ada pembayaran atas penjualan semen tersebut, CV. Mustika Jaya diperkenankan membuat satu faktur pajak gabungan meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada Januari 2019, yaitu paling lama tanggal 31 Januari 2019.
Contoh 2:
CV. Budi Mulia (berstatus PKP) melakukan penyerahan jasa service AC kepada CV. Sentosa pada tanggal 4, 7, 8, 13, 15, 17, 24, 27 dan 30 Januari 2019. Pada tanggal 27 Januari 2019 terdapat pembayaran oleh CV. Sentosa atas penyerahan tanggal 4 Januari 2019. Dalam hal CV. Budi Mulia menerbitkan faktur pajak gabungan, faktur pajak gabungan dibuat pada tanggal 31 Januari 2019 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan Januari 2019.
Contoh 3:
CV. Makmur Jaya (berstatus PKP) melakukan penjualan sabut kelapa kepada CV. Indah Pekerti pada tanggal 3, 5, 8, 11, 17, 25, 27 dan 30 Desember 2018. Pada tanggal 27 Desember 2018 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 3 Desember 2018 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Januari 2019 oleh CV. Indah Pekerti. Dalam hal CV. Makmur Jaya menerbitkan faktur pajak gabungan, faktur pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 Desember 2018 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan Desember 2018.*