HIBAH dan warisan menjadi 2 istilah yang kerap digunakan dalam konteks pemberian atau penerimaan harta. Kendati sama-sama terkait dengan pemberian harta, hibah dan warisan memiliki sejumlah perbedaan dalam hal pengenaan pajak penghasilan (PPh).
Pada dasarnya, harta hibah merupakan objek PPh. Namun demikian, terdapat kondisi tertentu yang membuat harta hibah dikecualikan dari pengenaan PPh. Sementara itu, warisan yang diberikan oleh orang yang telah meninggal dunia kepada penerima manfaatnya dikecualikan dari objek PPh.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hibah berarti pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain. Pengertian hibah juga dapat mengacu pada Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Berdasarkan pada pasal itu, penghibahan adalah:
“Suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.”
Selain KUH Perdata, pengertian hibah juga dapat ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Berdasarkan KHI, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Berdasarkan pada pengertian pengertian tersebut, arti hibah dapat dirumuskan sebagai pemberian suatu barang dari seseorang (pemberi hibah) kepada orang lain secara sukarela dan tidak dapat ditarik kembali. Adapun pemberian barang ini dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup.
KBBI mengartikan waris sebagai orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal dunia. Selaras dengan itu, Collins Dictionary mengartikan warisan (inheritance) sebagai uang atau properti yang Anda terima dari seseorang yang telah meninggal.
Sementara itu, Barron’s Dictionary of Legal Terms mengartikan warisan sebagai harta tak bergerak atau harta pribadi yang diterima oleh ahli waris menurut hukum keturunan dan pembagian (Gifis, 2016).
Sementara itu, Wirjono Prodjodikoro mengartikan warisan sebagai soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup (Suparman, 2015).
Adapun hukum waris di Indonesia bersifat pluralisme karena terdapat 3 sistem yang digunakan, yaitu hukum perdata barat, hukum islam, dan hukum adat. Terlepas dari pengertian dan sistem hukumnya, waris atau pewarisan mengandung 3 unsur, yaitu peninggal warisan (pewaris), ahli waris, dan harta warisan.
Ringkasnya, waris atau pewarisan berarti peralihan harta benda milik peninggal warisan (pewaris) kepada ahli waris. Adapun pemberian harta warisan dilakukan pada waktu pewaris telah meninggal dunia.
Berdasarkan pengertian yang dipaparkan, sederhananya, perbedaan antara hibah dan warisan terletak pada kondisi dari pihak yang memberikan barang atau harta. Adapun hibah diberikan apabila pemberi barang masih hidup, sedangkan warisan terjadi ketika pemberi telah meninggal dunia.
Hal tersebut juga sesuai dengan ketentuan dalam KUH Perdata yang menyatakan penghibahan hanya diakui di antara orang-orang yang masih hidup. Sementara itu, pewarisan hanya terjadi karena kematian.
Sebagai informasi kembali, simak pula daftar pengertian dan/atau definisi istilah-istilah dalam lingkup perpajakan serta ekonomi, termasuk hibah, di kanal Glosarium Perpajakan DDTC. Konten pada kanal ini akan terus diperbarui agar selalu relevan dengan perkembangan terkini.
Kanal Glosarium pada platform Perpajakan DDTC mulai sekarang dapat diakses oleh pengguna secara gratis dan tanpa perlu daftar akun. Simak ‘Kanal Glosarium Perpajakan DDTC Kini Gratis dan Tanpa Daftar Akun’. (kaw)