TRANSFER PRICING

Menyikapi Transisi Libor dalam Perspektif Transfer Pricing Indonesia

Denny Vissaro
Jumat, 13 Mei 2022 | 08.45 WIB
Menyikapi Transisi Libor dalam Perspektif Transfer Pricing Indonesia

ARTIKEL berjudul Death of Libor and Impact on TP: Indonesian Perspective menjadi salah satu artikel yang menarik dalam Special Transfer Pricing Guide 2022 yang dimuat International Tax Review. Mengulas isu transaksi Libor dan implikasinya dalam dunia transfer pricing, artikel ini sangat relevan dengan kondisi terkini.

Artikel ini ditulis oleh 2 profesional DDTC, yaitu Partner of Transfer Pricing Services DDTC Romi Irawan dan Manager of Transfer Pricing Services DDTC Muhammad Putrawal Utama. Perspektif yang didukung dengan segudang pengalaman kedua penulis dalam bidang perpajakan, terutama dalam dunia transfer pricing, dituangkan ke dalam artikel ini.

Penulis memulai ulasannya dengan menjelaskan digunakan Libor sebagai acuan suku bunga berbagai instrumen finansial yang mencerminkan unsecured interbank lending rates, terutama di London, Inggris. Sudah sejak beberapa dekade terakhir, Libor kerap digunakan sebagai benchmark suku bunga pada tingkat global.

Namun demikian, perlu dicatat, ketimbang mengacu pada suku bunga aktual, tingkat yang ditawarkan Libor dihitung oleh British Bankers’ Association (BBA) berdasarkan pada rata-rata suku bunga harian.

Diceritakan oleh penulis, skandal yang melibatkan Libor pada 2012 mencederai validitas dan keandalannya sebagai referensi global terkait dengan transaksi keuangan. Dalam skandal tersebut terungkap adanya manipulasi dan kolusi tentang penentuan referensi suku bunga oleh Deutsche Bank, Barclays, Citigroup, JP Morgan Chase, dan the Royal Bank of Scotland.

Singkat cerita, dibutuhkan adanya transisi untuk berhenti menggunakan Libor sebagai referensi tersebut. Berbagai otoritas dan pemangku kepentingan di tingkat global, seperti The Fed, European Central Bank, Bank of England, Bank of Japan, dan berbagai institusi kunci lainnya mengembangkan suatu acuan yang disebut alternative risk-free rate (ARR).

ARR dibentuk berdasarkan suku bunga aktual transaksi pinjaman pada tenor likuid tertinggi pada pasar uang (full transaction-based). Transisi dari Libor ke ARR akan menimbulkan gangguan signifikan dalam transaksi keuangan termasuk transaksi pihak terkait, khususnya perjanjian keuangan yang menggunakan suku bunga mengambang dengan suku bunga acuan Libor.

Sebab, wajib pajak harus memastikan perjanjian keuangan mereka sesuai dengan persyaratan prinsip kewajaran. Bukan tidak mungkin, wajib pajak perlu mengubah perjanjian keuangan intra-grup yang sedang berlangsung untuk beradaptasi dengan situasi saat ini.

Romi dan Putrawal mencermati tantangan dalam menghadapi transisi Libor bagi Indonesia akan serupa dengan tantangan di belahan dunia lainnya.

“Tantangannya adalah dalam meninjau persyaratan kontrak suku bunga dan menetapkan penyesuaian, terutama terkait dengan terbatasnya data untuk benchmarking,” tulis mereka dalam artikel tersebut.

Jika dibutuhkan, wajib pajak perlu mengubah perjanjian keuangan mereka dengan benar dan mendokumentasikan analisis tersebut dalam dokumentasi transfer pricing untuk mendukung dan mendokumentasikan kebijakan terkait transisi mereka.

Kedua ahli pada bidang transfer pricing tersebut mengupas secara komprehensif. Kita diajak untuk dapat memandang jernih terkait perencanaan transisi tersebut dalam perspektif Indonesia.

Artikel menarik ini dapat diakses melalui International Tax Review dalam segmen Transfer Pricing Guide 2022. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.