SETIAP penghasilan yang diperoleh, aktivitas ekonomi yang terjadi, dan kesejahteraan yang dimiliki, tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada peran serta negara terlebih dulu. Apakah itu infrastruktur, keamanan, keberadaan hukum, atau bahkan kemenangan atas suatu perang, semuanya merupakan bentuk ‘sarana’ publik yang mutlak dibutuhkan.
Perspektif inilah, menurut Vanessa S. Williamson dalam buku ‘Why Americans Are Proud to Pay Taxes’, tertanam dalam cara berpikir orang Amerika Serikat (AS). Penduduk AS digambarkan sebagai orang-orang yang malu jika menjadi free rider dalam berbangsa. Dengan membayar pajak, mereka memiliki legitimasi sebagai orang yang turut berperan dalam memajukan negara.
Memang, tetap diakui oleh Williamson, tidak ada orang AS yang betul-betul senang membayar pajak. Orang kaya pasti membenci pajak penghasilan. Orang miskin tentu tidak senang dengan adanya pajak atas konsumsi atau sales tax. Perokokpun tidak suka dengan cukai rokok.
Namun, berdasarkan survei yang dilakukan penulis buku terbitan Princeton University tersebut, ketidaksukaan itu tidak menghentikan mereka dari membayar pajak. Hal yang paling mereka benci bukanlah besarnya pajak yang mereka bayar, melainkan adanya kemungkinan wajib pajak lainnya yang tidak memenuhi kewajiban pajak.
Kemudian, hal nomor dua yang paling mereka tidak suka adalah belanja pemerintah yang tidak tepat sasaran. Williamson mengutarakan mayoritas orang AS bahkan tidak senang dengan adanya subsidi terhadap penduduk berpenghasilan rendah yang berlebihan.
Saking sadar betul anggaran pemerintah merupakan pajak yang mereka bayar, pemerintah dituntut untuk memprioritaskan belanja yang bermanfaat bagi pembayar pajak. Artinya, mereka begitu ‘posesif’ dengan pajak yang sudah disetor kepada pemerintah.
Tidak jarang mereka rela, bahkan mendukung adanya peningkatan beban pajak atau jenis pajak baru ketika keselamatan mereka terancam. Saat terjadi perang saudara (civil war), contohnya, peningkatan pajak penghasilan diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal serupa juga terjadi ketika negara butuh pendanaan untuk membiayai perang dunia kedua.
Ketika hal segenting itu terjadi, solidaritas dan komitmen warga AS pun meningkat. Sebagaimana diterangkan Wiliamson, tingkat kepatuhan pajak di AS membaik seiring dengan semakin besarnya kerelaan mereka untuk turut berkontribusi.
Dalam buku tersebut diceritakan bagaimana kerelaan mereka untuk berkontribusi diikuti dengan kekritisan mereka dalam menilai program pemerintah. Williamson bercerita bagaimana orang AS mudah kecewa dengan keputusan pemerintah dalam menggunakan anggarannya.
Negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan berpendapat itu pun mudah dikritik oleh berbagai lapisan warganya yang merasa kontribusi pajaknya disalahgunakan. Penyalahgunaan uang pembayar pajak tersebut tidak sekadar dinilai dari segi moral saja, tapi juga dari segi pilihan kebijakan yang ditelaah dari diskursus keilmuan dan kecenderungan politik.
Tak dapat dipungkiri, masyarakat yang majemuk dari berbagai ras, komunitas tertentu, dan kepercayaan tersebut menginginkan agar program pemerintah berpihak pada mereka. Tak jarang kelompok warga tertentu menolak anggaran sedemikian besar ditujukan pada kaum minoritas yang dianggap sedikit membayar pajak.
Meningkatnya kontribusi wanita dalam pembayaran pajak pun dianggap sebagai justifikasi sudah seharusnya pemerintah AS semakin peduli dengan pemenuhan hak-hak perempuan.
Pada intinya, sebagaimana disimpulkan penulis, kerasnya suara masyarakat AS dalam melibatkan dirinya ke dalam dinamika politik merupakan bentuk kelanjutan logis mereka usai membayar pajak.
Meskipun sering kali memberi kesan debat kusir atau kekacauan, rasa memiliki dan peduli mereka terhadap ke mana Paman Sam berlabuh didorong kredensial mereka sebagai pembayar pajak yang taat.
Dengan kata lain, semakin bangga masyarakat suatu bangsa membayar pajak, semakin besar pula kepedulian masyarakat akan nasib bangsa ke depan. Semoga demikian halnya juga dengan Indonesia. Simak lebih dalam isi buku tersebut dengan membacanya di DDTC Library. (kaw)