PADA 1 hingga 3 Desember 2016, Foundation for International Taxation (FIT) India bekerja sama dengan International Bureau Fiscal Documentation (IBFD) mengadakan International Taxation Conference dengan tema ‘BEPS and Beyond BEPS: A Year Later’. Dari Indonesia, DDTC yang diwakili B. Bawono Kristiaji menjadi salah satu pembicara di konferensi tersebut. Berikut laporannya:
Aktivitas penghindaran pajak dan perencanaannya yang agresif dalam transaksi lintas yurisdiksi sudah kelewat batas. Bagaimana tidak? Menurut OECD, secara global 4-10% pajak penghasilan badan tergerus tiap tahunnya. Padahal, pemerintah di banyak negara kini sedang pening dalam mengelola keuangan negara di tengah perlambatan ekonomi.
Gerah dengan hal ini, OECD dan G20 telah memulai suatu Program Anti-Penggerusan Basis Pajak dan Perpindahan Laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS). Hasilnya, 15 Rencana Aksi Anti-BEPS yang dirilis pada Oktober 2015 silam. Rencana Aksi tersebut mencakup cara dan pendekatan baru dalam melawan praktik manipulasi transfer pricing, kompetisi pajak yang tidak sehat, hingga upaya menciptakan penyelesaian sengketa pajak internasional yang efektif.
Setahun Berlalu
Setelah lebih dari satu tahun, lalu bagaimanakah status perkembangan implementasi program tersebut? Salah satu tantangan terbesar dari upaya menyelesaikan persoalan BEPS adalah: belum adanya koordinasi lanjutan yang bersifat konkret.
Padahal, di bulan April lalu OECD, PBB, IMF dan World Bank telah bersepakat untuk membentuk kerjasama dalam wadah The Platform on Collaboration on Tax. Terdapat enam output yang ingin dicapai melalui kolaborasi ini, termasuk di dalamnya upaya untuk membuat toolkit dan dukungan bagi negara berkembang dalam implementasi Program Anti-BEPS, membangun kapasitas otoritas pajak, serta mengupayakan pertukaran informasi yang efektif. Akan tetapi, hal tersebut sepertinya belum mampu mempercepat implementasi Program Anti-BEPS.
Jika kita kembali ke akar persoalan, adanya praktik BEPS justru terjadi karena celah yang ditimbulkan atas adanya perbedaan sistem pajak antarnegara. Tidak mengherankan jika OECD dan G20 mengikutsertakan elemen koherensi dalam Program Anti-BEPS. Artinya, upaya-upaya untuk merubah kerangka dan sistem perpajakan internasional haruslah dilakukan secara bersama-sama.
Keberhasilan implementasi program ini memang sangat tergantung dari perspektif dan kondisi dari masing-masing negara. Walaupun menjadi kesepakatan global, penerapannya kerap kali terbentur oleh kedaulatan pajak (tax sovereignty) dan minimnya ketersediaan aturan main maupun organisasi internasional di bidang pajak.
Selaku pemimpin penyelenggara konferensi, Roy Rohatgi, sempat mengungkapkan pandangannya. “Isu mengenai pajak internasional berbicara mengenai alokasi hak pemajakan bagi tiap negara dalam transaksi global dan bukan semata-mata mengenai wajib pajak saja. Setiap negara memiliki hak untuk melindungi apa yang dirasa menjadi bagiannya.”
Program yang Tidak Sempurna?
Rekomendasi yang dituangkan ke dalam 15 Rencana Aksi juga tidak seluruhnya sempurna. Contohnya saja, pada pemajakan atas ekonomi digital yang cenderung mengambang dan dirasa belum rampung. Akibatnya, beberapa negara menerapkan kebijakan secara sepihak (unilateral) seperti: Inggris dengan Diverted Profit Tax, atau India dengan Equalization Levy Rules.
Ketidakpastian implementasi juga terlihat pada beberapa Rencana Aksi yang terkait dengan bilateral tax treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B) misalkan atas perubahan status Bentuk Usaha Tetap (BUT), melawan treaty abuse, dan sebagainya. Kesepakatan untuk merubah P3B tentunya tidak mudah karena tiap negara memilki kepentingan yang berbeda-beda.
Lebih lanjut lagi, terdapat rekomendasi yang dirasa terlalu teknis (terkait aturan pembatasan beban biaya bunga), terlalu utopis dan normatif (terkait upaya pengukuran dampak BEPS dan Anti-BEPS), maupun berpotensi menciptakan biaya kepatuhan yang lebih tinggi (format baru dokumentasi transfer pricing dan mandatory disclosure rule).
Hal-hal tersebut tentu menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan: mengadopsi atau memilih cara alternatif? Mengimplementasikan atau bersikap menunggu?
Pertanyaan inilah yang menjadi tema besar International Taxation Conference yaitu: ‘BEPS and Beyond BEPS: A Year Later’. Tahun ini, untuk pertama kalinya konferensi dilaksanakan dengan kerjasama antara Foundation for International Taxation (FIT), India dengan International Bureau Fiscal Documentation (IBFD). Acara yang diselenggarakan di ITC Maratha, Mumbai, India pada tanggal 1 hingga 3 Desember 2016 tersebut mendiskusikan berbagai sisi status perkembangan serta proyeksi implementasi rekomendasi Anti-BEPS baik secara global maupun tren di berbagai negara.
Tahun ini terdapat lebih dari 90 pembicara, 30 di antaranya berasal dari luar India termasuk: Pascal Saint-Amans (OECD), Sol Piccioto (Inggris), Marc Levey (AS), Belema Obuoforibo (IBFD), Johann Hattingh (Afrika Selatan), Michael Kobetsky (Australia), dan sebagainya. Dari India sendiri, nama-nama beken seperti Porus Kaka (Presiden IFA), Mukesh Butani, Nishith Desai, TP Ostwal, Monica Bathia (Kepala Sekretariat Global Forum, OECD) juga tampil memaparkan pandangannya. Bawono Kristiaji, partner dari DDTC, menjadi satu-satunya pembicara dari Indonesia dalam acara tersebut.
Penasaran dengan perkembangan implementasi Program Anti-BEPS dan juga prediksinya ke depan? Ikuti terus liputannya beberapa hari ke depan dalam Laporan dari Mumbai. (Bersambung ke Bagian 2)*