KEBANGKITAN industri hulu tekstil sebetulnya sudah terasa pada semester II/2020. Namun, kebangkitan itu tak berlangsung lama. Pada penghujung kuartal I/2021, industri tekstil justru mengalami tekanan hebat karena volume impor pakaian jadi melonjak tajam di pasar domestik.
Redma Gita Wiraswasta menilai dukungan negara merupakan solusi untuk membangkitkan industri tekstil di dalam negeri. Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) ini menilai dukungan pemerintah tak harus berbentuk insentif perpajakan.
Pengendalian impor dan equal treatment antara produk impor dan dalam negeri dipandang sebagai solusi terbaik bagi industri. DDTCNews berkesempatan mewawancarai Redma dalam membedah dinamika sektor hulu pertekstilan. Berikut kutipannya.
Sejak kapan Anda aktif di asosiasi?
Saya menjadi Sekjen di APSyFI itu aktif mulai 2011 sampai sekarang. Sebelumnya, saya di Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Alasan utama saya terjun di asosiasi memang latar belakang kuliah saya bidang tekstil.
Sejak mahasiswa juga sudah aktif di organisasi. Jadi setelah lulus larinya kesitu-situ juga di bidang tekstil dan wadah organisasinya.
Bagaimana kegiatan bisnis pada sektor hulu dan hilir pertekstilan saat pandemi Covid-19?
Kami itu kan bergerak pada sektor hulu dari tekstil karena buat serat dan benang filamen. Kondisinya hampir sama dengan sektor tekstilnya. Jadi tahun lalu, kuartal II/2020, pas mulai ada Covid, sebagian ada yang setop produksi bahkan ada yang merumahkan karyawannya.
Utilisasi hanya 30%. Penjualan lokal susah, penjualan ekspor juga susah. Mulai kuartal berikutnya kan PSBB mulai diperlonggar dan itu buat utilisasi naik sekitar 50% karena didorong oleh pasar dalam negeri.
Sementara ekspor belum signifikan dalam artian ada tapi masih sangat sedikit. Jadi dominasi dari pasar domestik karena kegiatan ekonomi mulai buka kan. Lalu, kuartal IV/2020 itu makin bagus lagi sekitar 70% utilitas produksi dan ekspor mulai ada sedikit-sedikit.
Kemudian pasar lokal juga ikut diberikan insentif kepada konsumen untuk belanja. Dari situ lumayan bagus buat kami karena dari pasar dalam negeri dan juga saat itu barang impor belum banyak. Jadi kondisi market akhir tahun lalu itu pasar ada meskipun belum normal seperti 2018 dan 2019.
Pada kuartal I/2021, justru hanya bagus pada dua bulan pertama dan setelah itu mulai masuk barang impor nih. Jadi ketika masuk bulan Maret, saat impor kembali naik, ya sudah stok barang produksi menumpuk karena barang impor yang penuhi pasar lokal.
Barang impor yang masuk dari e-commerce itu mulai banyak. Memang ini efeknya tidak langsung ke kita karena yang ada di e-commerce kan barang jadi, tetapi ke hulu-nya jadi berpengaruh karena permintaan kain dan serat turun.
Jadi selama kuartal I/2021, cuma satu bulan terakhir berikan pengaruh dengan pertumbuhan tekstil yang sampai turun 13%. pada bulan pertama dan bulan kedua mulai bagus tapi masuk bulan ketiga itu mulai sepi lagi.
Pelaku usaha tekstil di kain dan garmen sudah banyak menahan beli bahan baku. Akhirnya stoknya masih banyak dan itu kejadiannya masih berlangsung sampai hari ini. Jadi situasi ini terjadi karena ada barang impor. Sebetulnya market domestik ada dan daya beli ada meskipun belum normal.
Cuma yang jadi masalah ketika daya beli belum normal ini maka 'kue' ini kan tambah sedikit, sebelum barang impor ada 'kue' yang kecil itu bisa kita manfaatkan dan makan bareng-bareng di pelaku usaha lokal. Ketika barang impor masuk banyak ya sudah lokalnya minggir lagi.
Jadi barang impor ini terutama di barang jadi di garmen, pakaian jadi dan masuk lewat Pusat Logistik Berikat online/e-commerce. Terus masih ada impor kain lewat cara impor borongan. Jadi tekstil ini mendapat serangan itu banyak dari berbagai jenis sehingga industri kita belum bisa pulih lagi.
Jadi tantangan utama datang dari impor bahan baku dan barang jadi?
Iya betul, kalau mau berbicara tantangan utama pada 2 tahun yang lalu itu bahan baku kain dan benang. Tapi kalau sekarang sudah ke bahan jadinya. Jadi semuanya disikat sama mereka itu. Kami melihat tantangan yang paling susah dihadapi itu ketika ada impor barang jadi. Hal ini dampaknya sampai ke industri kecil menengah yang banyak tidak aktif produksi sekarang.
Bagaimana respons pemerintah?
Nah, kemarin kan Pak Menteri Koperasi dan UKM, Pak Teten sudah ada beberapa yang disetop untuk impor barang jadi lewat e-commerce. Tapi kan itu yang disetop lapaknya. Tapi sekarang kan banyak lapak online yang dimiliki orang lokal tapi barangnya itu impor semua. Itu kan masih jalan terus.
Asosiasi sudah buat masukan kepada pemerintah perihal situasi ini?
Kami di asosiasi sudah sampaikan dari 2019, impor barang pakaian jadi itu sudah ada tren kenaikan dan terus naik itu. Bahkan, kami sudah ajukan safeguard produk garmen untuk pengamanan pakaian jadi tapi sampai sekarang belum diimplementasi.
Dari data Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia sudah terlihat adanya lonjakan impor pakaian jadi dan itu buat produsen dalam negerinya tertekan. Ini sudah dibahas di Kementerian Perdagangan. Sekarang ini tinggal di menteri keuangan nih.
Kami sudah mendapatkan keterangan dari menteri perdagangan, sudah menyampaikan rekomendasi kepada menteri keuangan agar impor pakaian jadi itu kena bea masuk pengamanan atau safeguard. Jadi kami menunggu itu sekarang.
Kami juga sudah mengusulkan pemerintah menerapkan persetujuan impor (PI). Jadi dibuat kuota impor untuk garmen jadi diwajibkan dokumen PI seperti yang berlaku pada industri produsen sepatu. Tapi itu juga belum disetujui.
Satu lagi kita ingin benahi ada pada impor borongan yang masih banyak. Karena impor borongan ini modusnya ada yang under invoice, under volume, under price dan ada juga pelarian HS itu juga ada disitu. Pelarian HS dan transhipment misalnya ada kasus di Batam itu kan transhipment. Ini mulai banyak lagi.
Soal kebijakan fiskal, seperti insentif pajak dan kepabeanan, bagaimana pandangan Anda?
Insentif bidang kepabeanan itu sebetulnya insentif untuk barang impor. Itu jadi masalah. Pemerintah boleh saja buat argumen insentif itu untuk bahan baku dan sebagainya, itu oke bagi kami. Tapi perlu dilihat penyedian bahan baku pada sektor usaha seperti kami itu kan sudah banyak.
Kalau mau dilihat dari kapasitas produsen kain di dalam negeri itu sebetulnya sudah over supply. Tapi insentif kepabeanan untuk impor tetap diberikan seperti bebas bea masuk dan PPN itu justru dinikmati oleh importir.
Justru hal itu menjadi backfire buat kita yang menjadi produsen dalam negeri. Jadi kami merasa insentif yang diberikan ini selalu pro kepada barang impor. Kemudian pas beberapa waktu lalu ada masalah terkait APD, masker dan lain-lain itu kan dibebaskan bea masuk dan pajaknya. Padahal, produsen di dalam negeri sudah banyak lalu kenapa insentifnya untuk barang impor.
Sementara itu, ekspor ditutup tapi barang impor dibuka dan diberikan fasilitas. Jadi ini selalu kebalik dan hal ini yang selalu kami protes. Poin kedua tentang pajak sebetulnya sudah ada tax allowance dan tax holiday tapi kedua insentif itu tidak akan efektif karena investasi minim.
Investasi minim karena marketnya tak ada. Jadi perusahaan yang ada sekarang saja jualan lokal susah karena market dibanjiri barang impor. Lalu, kalau perusahaan mau berorientasi ekspor perlu daya saing tinggi. Itu lebih susah lagi.
Kita ada daya saing tapi pas-pasan untuk bertarung di pasar ekspor. Maka bisa dilihat pada ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) dari tahun ke tahun ya segitu-gitu aja. Untuk ekspor kita juga ada tantangan dengan ketergantungan yang tinggi untuk impor bahan baku.
Kalau kondisi seperti itu ekspor susah dan pasar domestik dipenuhi barang impor jadi, kita tidak punya ruang untuk berkembang. Ya orang tidak akan mau investasi kalau kondisinya seperti itu.
Ketika kita bisa jaga market domestik ini maka insentif tax allowance dan tax holiday itu akan menjadi gula-gula yang menarik investasi. Kalau dari fiskal, kita menilai insentif yang tepat adalah yang mampu menurunkan cost produksi.
Misal, kita minta KLTE kemudahan lokal tujuan ekspor. Kami sudah usulkan ini ke Kemenkeu, ini sebetulnya bukan insentif. Kita minta equal treatment antara barang lokal dan barang impor.
Jadi kan sekarang ada fasilitas KITE yang impor tidak usah bayar bea masuk dan PPN asal hasil produksi buat ekspor. Nah, kalau perusahaan orientasinya ekspor tapi menggunakan bahan dari dalam negeri itu kan tetap kena PPN.
Memang begitu barang di ekspor beban PPN itu kan bisa direstitusi tapi kan itu prosesnya lama cair kurang dari 6 bulan itu sudah hebat. Di sisi lain untuk impor enggak usah bayar beban perpajakan itu. Jadi orang akan lebih memilih bahan baku impor ketimbang bahan baku lokal.
Untuk itu, kami usulkan hal yang sama ketika pengusaha beli dari produsen lokal. Jadi ada equal treatment dan dari hal itu juga mengurangi modal kerja yang 10% itu enggak usah bayar. Itu saja susah mengusulkan itu padahal kita hanya minta equal treatment.
Ada lagi insentif untuk kegiatan Litbang dan vokasi yang desainnya sebetulnya cukup menarik. Tapi karena kondisi seperti saat ini saya lihat belum banyak yang memanfaatkan untuk sektor tekstil dari sisi hulu dan hilirnya.
Kemudian yang bermanfaat lagi adalah penurunan harga gas dari US$9,8 per million british thermal unit (MMBTU) sekarang sudah banyak yang US$6 MMBTU. Itu lumayan buat kami meskipun masih belum kompetitif seperti China dan India untuk harga gasnya.
Jadi insentif perpajakan akan sangat terasa bagi kami jika itu efektif mengurangi biaya operasional dan insentif yang relaksasi biaya cash flow perusahaan. Jadi kalau restitusi lebih mudah dan cepat maka pengusaha akan lebih rileks dari sisi cash flownya.
Bagaimana pengalaman bapak selama berinteraksi dengan DJP dan DJBC?
Ini yang jadi banyak masalah soal bukper. Jadi sebelumnya untuk barang impor pakai itu pajaknya saat penjualan ke pasar itu tidak pakai faktur. Misal, ia pakai produksi menggunakan kain impor gelondongan dan si perusahaan konveksi ini beli barang itu tidak pakai faktur pajak.
Sementara itu, yang memakai produksi dalam negeri itu kan harus pakai faktur pajak. Banyak dari perusahaan menggunakan faktur pajak sederhana dan PPN itu dibayar. Selanjutnya pembeli dari konveksi ini tidak mau terima faktur pajak.
Jadi itu dianggap sebagai pelanggaran dalam administrasi PPN padahal pajak sudah dibayar akhirnya banyak yang diproses. Banyak yang harus bayar ulang PPN dan ada juga yang sampai kena sanksi administrasi.
Tapi untuk barang impor itu tidak ada yang diperiksa karena memang sistemnya jual putus. Importir tidak tahu siapa pembeli barangnya. Ini jadinya tidak equal juga dari sisi pajak. Hal ini jadi pekerjaan rumah pemerintah sebetulnya.
Untuk bea cukai itu tadi, sekarang marak lagi impor borongan seperti itu, barang berisiko tinggi. Mudah-mudahan, bisa segera menindak tegas itu. Kami lihat pembenahan juga harus dilakukan oleh trader yang masuk kategori jalur hijau.
Perlu dilihat lagi apakah benar impor yang dilakukan sudah sesuai antara PIB dan masterbatches di China. Karena data ekspor-impor tekstil antara China dan Indonesia itu beda. Data China bilang ekspor ke Indonesia itu lebih besar hampir US$1 miliar ketimbang catatan impor kita dari China untuk HS 50 sampai HS 63.
Itu perbedaannya konsisten setiap tahun datanya tidak jauh-jauh dari angka US$1 miliar. Artinya ada barang dari China senilai US$1 miliar yang tidak tercatat di sini.
Kalau di China sepertinya tidak mungkin memalsukan dokumen ekspor karena itu akan terkait dengan restitusi PPN dan export rebate dari Pemerintah China. Kalau ia mengecilkan harga atau volume maka akan rugi pengusaha.
Kemudian di sini ada kemungkinan untuk buat dokumen PIB yang under value atau under volume untuk kurang beban bea masuk dan PPN. Jadi perlu evaluasi dari bea cukai karena rugikan keuangan negara. Kami harap pemerintah bisa benahi ini.
Seberapa optimistis sektor tekstil dalam negeri bisa pulih lagi?
Ini semua tergantung pemerintah. Karena pemulihan industri tekstil itu gampang selama pemerintah bisa mengendalikan impor itu pasti akan langsung naik seperti yang terjadi tahun lalu dengan kinerja yang bagus. Tapi begitu impor mulai masuk ya sudah bubar lagi. Jadi memang tergantung pemerintah. Mau enggak benahi impor ini.
Perlukah insentif pajak yang akan berakhir bulan ini diperpanjang?
Kalau saya melihat insentif yang berkaitan dengan pandemi itu harus diperpanjang dan diperluas dari sisi fiskal dan nonfiskal. Kami usulkan insentif yang berhubungan langsung dengan cost perusahaan bisa diperpanjang.
Kemudian yang berhubungan juga dengan cash flow perusahaan karena beban biaya kami tetap saat kondisi pasar belum normal. Seperti kewajiban bayar THR karyawan dan yang dirumahkan juga kami wajib bayar setengah gajinya.
Lalu, insentif bagi IKM pada sektor hilir berupa modal kerja. Insentif itu tidak hanya dirasakan IKM saja tapi juga di hulu karena mereka akan membeli bahan baku seperti benang dan kainnya. Jadi stimulus pada sektor hilir tapi manfaatnya nyampe ke hulu.
Beban biaya seperti listrik juga perlu direlaksasi dengan mekanisme pembayaran secara angsuran selama 6 bulan sampai dengan 12 bulan. (rig)