KETUA Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Ruston Tambunan memutuskan untuk kembali maju sebagai petahana posisi calon ketua umum periode 2024-2029. Dia menggandeng Ketua Departemen Pendidikan IKPI Lisa Purnamasari sebagai calon wakil ketua umum.
Sebelum pemilihan yang berlangsung saat Kongres XII IKPI di Bali pada 18-20 Agustus 2024, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Ruston. Dia bercerita mengenai beragam program yang akan dikerjakannya bila terpilih kembali sebagai ketua umum.
Beberapa program yang dimaksud seperti memodernisasi organisasi, mengevaluasi materi dan harga PPL, mendirikan LSP perpajakan, mendorong penetapan UU Konsultan Pajak, dan lain-lain. Berikut kutipan wawancara DDTCNews dengan Ruston.
Jadi ketua umum itu adalah pengabdian dan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, sering kali juga materi. Banyak kesempatan yang bisa hilang juga. Saya berhenti jadi dosen tetap di UPH (Universitas Pelita Harapan) karena saya ngurusin kantor, kegiatan usaha yang lain, dan organisasi. Kemudian, ada yang serius mau mengajak mendirikan law firm tapi akhirnya saya tunda.
Selama ini, istri dan saya dengan anak-anak kami suka terpisah. Dulu, istri [merupakan] ASN yang lumayan sering ke luar kota. Sekarang, istri sudah punya hak untuk pensiun dini. Saya pikir saya juga bisa mengurangi kegiatan. Anak-anak juga terpisah karena dua-duanya dokter, di Manado dan Semarang. Nah, pada saat itu, saya sudah tekadkan bahwa sudah ya [mengurangi aktivitas].
Namun, seiring berjalannya waktu, tiba-tiba 8 dari 10 ketua departemen ditambah bendahara umum mengajak saya [bertemu secara daring lewat] Zoom. Mereka mengatakan tolong pertimbangkan supaya mau maju lagi. Saya bilang sinyal saya sudah jelas [awalnya tidak maju lagi]. Terus mereka ini akhirnya mendorong saya. Dukungan itu akhirnya menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan.
Saya enggak langsung terima karena harus berunding lagi sama keluarga. Setelah itu, saya diajak lagi [bertemu secara online melalui] Zoom. Mereka maunya [jawaban] yes, enggak ada alternatif.
Saya bilang ke mereka bahwa siapapun nanti yang saya tunjuk jadi wakil ketua umum tidak boleh menolak. Kalau ditolak, saya mundur. Itu sama dengan menyuruh saya maju tapi enggak mau mengabdi bersama. Saya tunjuk Bu Lisa. Saya memilih Bu Lisa karena dia orang yang dedicated kepada organisasi. Dia sudah jadi pengurus IKPI selama 23 tahun, lebih lama dari saya.
Dia juga sudah berpengalaman bekerja sama dengan saya beberapa kali. Jadi sekretaris panitia kongres di Makassar dan Malang. Saya ketuanya, dia sekertarisnya. Saya sudah lihat sendiri. Ketika saya jadi ketua umum IKPI, dia ketua departemen, saya lihat sendiri kerjanya. Jadi, bagi saya, sangat mudah untuk menentukan siapa yang menjadi pendamping [sebagai calon ketua umum].
Secara umum, visi, misi, dan program itu kami tidak boleh lari dari visi, misi, dan tujuan perkumpulan. Program itu sebetulnya sudah ada dari bottom-up. Nah, program yang paling urgent sekarang ini adalah penguatan kapasitas organisasi. Modernisasi manajemen dengan hire direktur eksekutif, seperti IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) dan IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia).
Jadi, program-program itu bisa dijalankan oleh direktur eksekutif dengan arahan dari pengurus harian. Selama ini kan pengurus harian juga yang eksekusi. Jadi, dengan adanya direktur eksekutif, kita harapkan nanti bisa berlari cepat dan banyak yang dikerjakan, tidak terbatas oleh waktunya pengurus. Kita sudah benchmark dengan IAI dengan IAPI soal itu.
Kemudian, nanti sumber dayanya juga harus menyesuaikan arus manajemen modern. Pelayanan kepada anggota bisa cepat. Sehubungan dengan itu juga, kita menerapkan software akuntansi. Kita sudah bangun untuk pencatatan dan sekaligus pengawasan keuangan juga. Itu kita sudah bangun sehingga tinggal menjalankan.
Lalu, soal RUU Konsultan Pajak. Itu menjadi satu program yang harus kita gol-kan. Kita harapkan dalam periode kepengurusan baru, siapapun yang terpilih, bisa mengawal ini. Kita targetkan sebelum 2029, undang-undang itu sudah ada. Kenapa perlu itu? Enggak usah ditanya karena dulu pun kita sudah jalankan. Sudah masuk prolegnas (program legislasi nasional).
Dulu sudah diusulkan lewat DPR. Anggota DPR kan yang mengusulkan dibahas di Komisi XI dan Baleg. Kemudian, akhirnya menjadi usulan DPR di rapat paripurna. Sudah oke. Harusnya next pembahasan di Baleg dengan pemerintah, tapi ada kemandekan. Ini kita mau coba hidupkan lagi. Untuk itu kami bentuk task force.
Saya bentuk task force berisi 29 orang. Ada pengurus, orang cabang, dan pengawas. Pokoknya siapapun yang peduli dengan ini dan menurut kami mereka punya background pendidikan dan network. Karena memang kita butuh UU Konsultan Pajak. Ini sesuai dengan misi organisasi, yakni mandiri dan profesional.
Apakah sekarang mandiri? Tidak. USKP (ujian sertifikasi konsultan pajak) saja sekarang kita ikut PPPK (Pusat Pembinaan Profesi Keuangan). Sekarang bahkan mau diatur pedoman kode etik dari PPPK. Ada guidance walaupun kode etiknya nanti terserah masing-masing. Harusnya profesi yang tahu standar kualifikasi dan kode etiknya. Nah, itu contoh bahwa kita enggak bisa mandiri.
Nah, sekarang Kementerian Keuangan bingung juga antara kuasa konsultan pajak dan kuasa pihak lain. Mau diatur bagaimana? Kalau konsultan pajak katanya profesi jadi jelas masuk PPPK. Lalu, yang satunya bagaimana? Saya berpendapat kalau wewenangnya sama maka kuasa pihak lain dan kuasa konsultan pajak perlakuannya, baik secara kompetensi, pengawasan, atau pembinaan, harus sama. Paling enggak setara.
Memang benar tidak harus masuk ke asosiasi. Jadi, kalau Pasal 28 UUD 1945 bilang kemerdekaan untuk berserikat, ada juga kemerdekaan untuk tidak berserikat kan. Namun, kalau kita bicara kualifikasi ya harus seimbang dong. Jadi, kalau tidak ada guidance yang benar maka kita harus ambil alih lagi itu semua, kita harus mandiri. Sama seperti IAI dan Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia), mereka selenggarakan sendiri.
Poin pertama ya tujuan utamanya, yakni melindungi haknya wajib pajak. Jadi, harus melindungi banyak orang. Kalau konsultan pajak kan cuma 7.000 orang. Kalau sekarang ditanya apakah wajib pajak terlindungi? Bayangkan saja, ada yang sudah lulus USKP, ada yang cuma lulus Brevet tetapi enggak diatur akreditasinya apa. Jadi perlindungan kepada konsumen lah kurang lebih.
Baru kemudian ada penguatan profesi ini, dilindungi. Pak dirjen pajak kan sering bilang soal rel. Saya bilang rel itu harus sama-sama kuat. Memang enggak boleh terlalu dekat, nanti anjlok. Harusnya seiring tapi kiri kanan harus sama-sama kuat. Masalahnya konsultan pajak masih diatur PMK. Oleh karena itu, kita mendorong adanya undang-undang.
Kalau undang-undang kan mengikat semua pihak, tidak bisa mudah direvisi. Kalau sekarang, menteri nanti ganti, enggak tahu mau di bawa ke mana. Sudah lama, PMK ini enggak keluar. Sebenarnya sudah ada di Pasal 44E UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), tetapi dibiarkan. Sudah berapa banyak wajib pajak yang komplain karena mendapatkan jasa dari yang tidak qualified. Setelah bermasalah, baru cari yang kompeten.
Jadi, memang untuk mengegolkan undang-undang harus untuk kemaslahatan orang banyak. Kalau cuma buat IKPI atau buat konsultan pajak ya ngapain [dengan] undang-undang, PMK saja. Chance untuk UU Konsultan Pajak pun juga jadi makin tinggi karena di UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan sudah mengatur bahwa konsultan pajak sebagai salah satu sektor penunjang.
Bedanya, sektor penunjang lainnya sudah punya undang-undang semua, seperti notaris dan akuntan. Appraisal juga habis ini punya undang-undang. Oleh karena itu, strateginya nanti juga harus kita, industri, perguruan tinggi, tax center, sama pemerintah dan DPR bersama-sama supaya undang-undangnya bisa keluar.
Kami sudah berkunjung ke beberapa cabang. Banyak yang materinya itu-itu saja, seperti SP2DK dan pemeriksaan. Mungkin ke depannya, mereka ingin [materinya] diperbanyak, seperti case-case dalam praktik yang dialami anggota. Jadi, membahas studi kasus yang riil. Bisa jadi orang mengalami hal yang sama untuk kasus tertentu.
Selain inisiatif dari departemen PPL sendiri, tentu bisa minta pendapat. Selama ini kan belum pernah ada yang begitu. Ada cabang yang misalnya banyak industri rokok dan ingin PPL khusus industri rokok. Terus dari Kalimantan, misalnya terkait dengan tambang, di sana kasusnya sama tapi solusinya beda. Itu kan jadi menarik.
Kemudian, untuk menjadi asosiasi kelas dunia, kita perlu memperbanyak konten-konten perpajakan internasional. Itu kan tidak terlalu banyak dan juga terbatas pada konsep, bagaimana otak-atik tax treaty. Mungkin kasus-kasus riil kita perlu kumpulan dalam 1 PPL. Itu menurut saya jadi lebih baik lagi dan implementatif. Materi yang sifatnya implementatif di lapangan, menurut saya, perlu diperbanyak. Jadi, dari sisi materi kita akan review.
Kemudian, soal narasumbernya juga. Saya belum pernah dapat evaluasi yang detail mengenai narasumbernya ini oke atau tidak? Kadang-kadang ada komplain lewat WA, tetapi bulan depan mengajar lagi. Nah, ini kayaknya kami harus lakukan itu [evaluasi narasumber]. Mereka dari EY, PwC, DDTC, semua perlu sharing.
Kemudian, frekuensi. Bagaimanapun, PPL sekarang itu terbantu oleh PMK 111/2014 karena mandatory. Harus dipenuhi. Kalau enggak, bisa ditegur, izin bisa dibekukan. Namun, jangan karena mandatory ini kemudian apa sajalah dikasih, pasti mereka ikut. Dari sisi pemasukan ke organisasi ini kan sudah captive market. Namun, saya harus review ke depan.
Sekarang kan 16 kali hingga 24 kali PPL dalam 1 bulan. Apa enggak kebanyakan? Kira-kira dari cash in, apa enggak cukup misalnya hanya 5 atau 6 kali dalam 1 bulan, tetapi materinya lebih berkualitas dan dibutuhkan oleh anggota? Sekarang diadakan 5 kali, 6 kali, atau 20 kali, market-nya itu-itu juga. Akhirnya, cash out-nya jadi nambah kepada narasumber. Jadi, itu kita akan review juga. Kalau serius, mungkin harga PPL yang bisa kita turunkan. Itu sasarannya ke sana.
Kita juga evaluasi karena PPL ini tidak merata di daerah, terutama yang offline. Mereka kadang-kadang ngeluh, kalau kami adakan seharga Rp750.000 tidak ada yang mau, bahkan Rp500.000 saja susah. Itu kan keluhan yang perlu kita perhatikan. Jadi, kita perlu sesuaikan dengan kemampuan di daerah. Kemudian, selama ini PPL online hanya pusat. Ke depan, kita akan kasih sekali online dalam setahun di daerah.
Sebenarnya LSP yang kita tulis dalam program itu kelanjutan dari apa yang sudah kita canangkan juga di periode kepengurusan saya. Tujuannya LSP lebih ke teknis perpajakan, bukan jadi konsultan. LSP itu seperti jadi [profesional pada bidang] compliance, pegawai pajak di perusahaan perusahaan. Jadi, seperti politeknik. Dia lebih kepada program-program compliance.
Kenapa kita perlu itu? Karena kita mau ada cikal bakal mereka-mereka yang suka sama bidang ini. Misalnya, anak SMA suka dengan bidang pajak, dia bisa meng-upgrade dirinya lewat LSP. Kalau suatu saat ingin jadi konsultan pajak, dia bisa ikut USKP dan jadi anggota kita. Jadi kita lebih banyak pembibitan. Itu kalau konteksnya ke asosiasi.
Itu juga untuk mengimbangi isu bahwa USKP bukan sertifikasi BNSP. Jadi, kita mau benar-benar capture keduanya, yang mau jadi konsultan pajak [ada] USKP, yang mau jadi pekerja kita selenggarakan LSP. Asosiasi boleh melakukan itu. Kurikulumnya LSP nanti disiapkan untuk compliance terkait isi SPT (Surat Pemberitahuan), peraturan umum, dan segala macam.
Kami sudah diundang MA (Mahkamah Agung) terkait hal itu. Saya langsung bilang ke mereka bahwa bagaimanapun Pengadilan Pajak adalah sub dari PTUN (pengadilan tata usaha negara). Sudah disebutkan dalam UU PTUN bahwa ini pengadilan khusus. Kalau pengadilan khusus maka diperlakukan sebagai khusus juga dong.
Oleh karena ini peradilan khusus pajak, kami sampaikan syarat kompetensi untuk jadi kuasa hukum di peradilan khusus ini harus khusus juga, yaitu keahlian di bidang perpajakan. Tinggal keahliannya seperti apa sih? Kita bicara grading di USKP, kira-kira begitu kan.
Kalau sekarang kan di UU Pengadilan Pajak cuma bilang mempunyai pengetahuan bidang perpajakan makanya Brevet pun diterima. Nanti harus diatur bahwa kompetensi utama adalah yang di bidang pengetahuan perpajakan. Contohnya, apakah itu nanti mau ada ujian khusus, tapi tetap utamanya adalah pengetahuan khusus di bidang perpajakan. Harusnya konsultan pajak otomatis masuk. Jadi, bukan harus sarjana hukum.
Tidak semua peradilan itu harus lawyer kok. Di hubungan industrial juga enggak harus lawyer. Mengapa? Karena peradilan khusus di bawah kamar perdata. Jadi tidak harus dari pengacara yang bisa jadi kuasa hukum. Itulah yang kita perjuangkan. Dari pihak MA bisa memahami, tapi meminta IKPI untuk membuat kajian lebih mendalam karena nanti lawannya para lawyer.
Untuk yang keahliannya hanya compliance bisa terdisrupsi karena kan kita bicara prepopulated SPT. Jadi, capture data, dikumpulkan jadi satu, lalu disajikan. Kira-kira itu konsep dasarnya. Ya, kita belum tahu detail jeroannya, tapi kira-kira begitu.
Konsultan pajak kan selama ini kelihatan banyak effort-nya, termasuk mengumpulkan catatan, mengumpulkan data, memasukkan data di SPT. Namun, kalau hal itu sudah disediakan oleh teknologi, tentu saja itu akan memengaruhi service-nya konsultan pajak.
Yang jelas, semua konsultan pajak harus melek teknologi. Literasi digitalnya juga harus diperbarui. Apakah nanti ada sesuatu yang membuat kita harus provide tools supaya bisa mengakomodasi itu? Kemudian, pengetahuan apalagi yang kita perlukan untuk mengeksekusi itu? Itu semua kita harus siap.
Bisa jadi, wajib pajak juga bilang ‘ah gua enggak perlu lagi konsultan pajak, sudah dipotret datanya. Kalau di sana sudah dipotret, ya tinggal follow saja. Enggak bisa menghindar juga’. Itu pasti akan terjadi. Selama ini, wajib pajak orang pribadi yang menggunakan konsultan pajak tingkat A misalnya, mungkin dia tidak akan pakai konsultan karena sudah disediakan datanya.
Kemudian, menjadi enggak ada dispute, apalagi yang menyediakan data dari DJP. Harusnya kan nol dispute dong, mereka sudah potret. Yang seperti itu pun suatu saat juga tidak akan diperiksa harusnya, kecuali ada data baru muncul. Itupun juga lewat SP2DK atau bisa direct ke wajib pajak sehingga tidak perlu ribet seperti sekarang.
Saya ingin orang menggunakan akal sehat. Kita harus jaga ke depan dengan hati nurani, dengan melihat siapa yang lebih layak. Itu yang dipilih. Jadi, bukan karena sesuatu yang lain. Saya selaku ketua umum periode sekarang juga berharap tetap menjaga kekompakan. Jangan sampai misalnya mendukung 01 atau 02, ada yang sampai saling terluka perasaannya.
Jangan sampai pecah lagi. Menjadi ketua umum itu menurut saya lebih kepada pelayanan. Kalau terpilih, kami akan mencari dan mengidentifikasi siapa dari 01 yang memang masih bisa bersama memajukan IKPI ke depan. Jadi, bukan the winners take all. Selama ini kan pencapaian kita karena kerja semua juga. (kaw)