BERDASARKAN interaksi kami dalam praktik pemungutan pajak yang dilakukan pemungut, baik itu bendaharawan pemerintah maupun BUMN/D, ada beberapa hal yang agaknya perlu diketahui oleh khalayak. Tujuannya terutama agar Ditjen Pajak lebih memperhatikan praktik tersebut.
Memang, sebagian sebagian besar praktik pemungutan pajak sering merugikan rekanan. Namun, akan kami jelaskan dulu praktik seperti apa yang sering terjadi, dan apa dampaknya bagi rekanan, setelah itu akan ditawarkan solusi untuk mengurangi dampak negatifnya.
Persoalan pertama dan utama adalah mark up atau permintaan fee/honor atas pengadaan barang. Kami mewawancarai 4 rekanan yang memberi informasi praktik tersebut. Hal ini mengindikasikan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) ternyata tidak efektif mencegah praktik ini.
Persoalan kedua berkaitan dengan bukti pungut pajak pertambahan nilai (PPN) dan atau pajak penghasilan (PPh) Pasal 22/PPh Pasal 23. Dari wawancara dengan rekanan disimpulkan ada 3 masalah yang sering terjadi berkaitan dengan bukti pungut.
Pertama, salah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kedua, salah nominal pemungutan. Ketiga, sulitnya rekanan meminta atau memperoleh bukti pungut. Kesalahan NPWP atau nominal pemungutan dapat ditindaklanjuti dengan pemindahbukuan yang terbit sebulan setelah permohonan diajukan.
Tentu, hal itu merepotkan rekanan, tetapi paling tidak masalah bisa diatasi. Masalah yang paling merugikan adalah kesulitan rekanan meminta bukti pungut, kredit pajaknya. Jika rekanan tidak bisa mendapatkannya, ia tidak bisa mengkreditkan pajaknya, sehingga harus membayar pajak lebih besar.
Persoalan berikutnya adalah kesalahan penerapan aturan. Penelitian Rescy dan Charoline (2019) menemukan banyak kesalahan penerapan aturan pemungutan pajak oleh bendahara, misalnya rekanan yang bukan Pengusaha Kenapa Pajak (PKP) tetap dipungut PPN.
Atau ada pengadaan barang yang seharusnya tidak terutang PPN tetapi tetap dipungut, atau juga praktik memecah kuitansi agar tidak kena pajak. Bendahara yang diwawancarai mengatakan mereka melakukan hal itu karena mengikuti bendahara sebelumnya agar tidak menjadi temuan inspektorat.
Hal ini mengindikasikan banyak bendahara tidak memahami aturan, mereka hanya fokus pada audit inspektorat/Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tidak peduli apa yang dijalankan sesuai aturan atau tidak, karena mereka juga tidak pernah diperiksa kantor pajak. Lagi-lagi, yang dirugikan rekanan.
Kami menganalogikan pemungutan pajak oleh pemungut ini seperti memindahkan uang dari saku kiri ke saku kanan. Uang dari pemerintah, dikembalikan lagi ke pemerintah, walaupun dalam bentuk yang berbeda. Tentu kami paham mekanisme ini merupakan bagian dari praktik withholding tax.
Akan tetapi, jika praktik tersebut tidak efektif, tentu sebaiknya dikaji ulang. Praktik ilegal di lapangan yang merugikan rekanan juga perlu mendapatkan perhatian. Inspektorat atau BPK yang seharusnya membantu pelaksanaan aturan perpajakan, malah dirasakan tidak membantu rekanan.
Enam Solusi
KAMI juga pernah menyampaikan hal ini kepada pegawai kantor pajak, tetapi sepertinya kantor pajak juga tidak bisa melakukan tindakan apapun atas praktik ini. Atas semua persoalan yang timbul dari transaksi dengan pemerintah ini, kami menyarankan paling tidak enam solusi.
Pertama, mengevaluasi kinerja LPSE dan perangkatnya. Seharusnya keberadaan LPSE dapat menekan mark up atau permintaan fee dari oknum pemerintah. Kedua, memaksimalkan fungsi pembinaan dan fungsi kontrol perangkat pengawasan pemerintah seperti inspektorat, BPK, dan kantor pajak.
Ketiga, perlu dipikirkan mekanisme withholding tax yang tidak merepotkan atau merugikan rekanan dalam hal bertransaksi atau pengadaan barang/jasa dengan pemerintah, misalnya pengenaan pajak final atas semua transaksi dengan pemungut.
Keempat, penyederhanaan proses dan prosedur birokrasi perpajakan, khususnya tentang Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Daripada mengurus SKB yang merepotkan karena perlu waktu untuk melengkapi dokumen dan untuk menunggu SKB terbit, mungkin bisa dengan memperlihatkan surat pemberitahuan tahunan kepada pemungut untuk membuktikan rekanan adalah wajib pajak usaha mikro, kecil dan menengah.
Kelima, penguatan dan perbaikan teknologi informasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan bank persepsi. Dengan perbaikan teknologi informasi ini, bukti pungut tinggal diunduh dari sistem atau dikirim ke email rekanan dan link ke akun wajib pajak.
Keenam, pengenaan sanksi harus diterapkan secara adil. Apabila bendahara melanggar aturan, maka harus dikenakan sanksi sesuai aturan. Untuk itu, semua pihak terkait yakni auditor pemerintah, fiskus, bendahara, dan wajib pajak harus memiliki persepsi yang sama atas aturan yang berlaku.
Terkadang antara auditor pemerintah dan fiskus memiliki pemahaman yang berbeda atas satu aturan, sehingga bendahara dan wajib pajak bingung dalam menerapkan aturan di lapangan. Karena itu, perlu dilakukan sosialisasi yang rutin agar semua pihak memahami aturan perpajakan terbaru.
Tentu kita semua menginginkan praktik pemungutan pajak oleh pemungut baik bendaharawan pemerintah maupun BUMN/D ini berjalan dengan baik, dan mekanisme withholding tax bisa berjalan efektif. Namun, tanpa merugikan rekanan, sehingga penerimaan pajak bisa dioptimalkan.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.