SALAH satu isu perpajakan yang santer dibicarakan saat ini adalah pajak perusahaan digital. Hal ini lantaran keberadaan usaha mereka yang sangat nyata dalam keseharian kita. Terlebih kini kita sudah memasuki era Revolusi Industri 4.0 yang sarat dengan penggunaan teknologi digital.
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyatakan pemerintah tengah menggodok formula terbaik untuk mengenakan pajak pada perusahaan digital. Terlepas dari itu, fakta menunjukkan memang belum ada aturan yang tegas membahas pajak perusahaan digital di negara kita.
Contoh terbaru adalah Netflix, penyedia jasa streaming film dan TV sesuai dengan permintaan. Netflix Indonesia punya 481.450 pelanggan pada 2019. Diprediksi ada pembayaran dari pelanggan Indonesia ke Netflix di Belanda Rp52,48 miliar per bulan atau Rp629,74 miliar setahun.
Namun, kita tidak perlu berkecil hati. Tidak hanya Indonesia yang kesulitan memajaki perusahaan digital. Negara-negara maju pun mengalami hal serupa. Karena itu, Kelompok G20 pernah berkumpul membahas redefinisi badan usaha tetap (BUT).
Tujuannya agar negara dapat memungut pajak dari perusahaan luar negeri yang memiliki usaha di negara bersangkutan tetapi tidak memiliki kantor fisik cabang atau anak perusahaan (significant economic presence) di negara tersebut.
Syukurnya, pemerintah bertindak cekatan menyikapi isu itu. Wakil Menteri Keuangan Suahazil Nazara menyatakan aspek pajak pertambahan nilai (PPN) perusahaan digital sudah pasti akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Perpajakan pada awal 2020.
Hal itu sangat benar mengingat PPN adalah jenis pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri. Dalam hal ini, layanan Netflix dikonsumsi oleh pelanggan Indonesia, sehingga Netflix wajib memungut PPN atas penyerahan jasa layanannya ke pelanggan di Indonesia.
Selanjutnya, ada pekerjaan yang belum terselesaikan, yaitu aspek pajak penghasilan (PPh). Beberapa negara sudah mengenakan pajak itu seperti di Australia, Perancis, Italia dan Singapura, dan menyusul Inggris. PPh dikenakan dalam porsi tertentu atas penghasilan perusahaan digital di negara tersebut.
Aspek Kehati-hatian
BELAJAR dari beberapa negara itu, pemerintah lebih baik tidak terburu-buru. Minimal ada dua alasan. Pertama, Amerika Serikat (AS) sebaga negara asal mayoritas raksasa digital merasa diperlakukan tidak adil dan menebar ancaman perang dagang ke negara yang mengenakan pajak digital.
Contohnya adalah Prancis. Negara ini mendapat ancaman tarif impor oleh AS sebesar 100% untuk produk ekspornya. Dalam konteks Indonesia, AS merupakan salah satu negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Adanya pajak digital tentu akan menurunkan neraca perdagangan Indonesia-AS.
Kedua, pengenaan pajak digital oleh suatu negara sangat rentan sengketa pajak internasional. Peneliti DDTC Fiscal Research, B. Bawono Kristiaji menyatakan pengenaan pajak digital akan menambah daftar panjang sengketa pajak internasional antara pemerintah dan perusahaan digital dunia.
Menurutnya, sengketa pajak dapat terjadi lantaran dasar hukum yang berbeda antara pihak yang bersengketa. Tepatnya adalah perbedaan aturan pajak domestik tentang pajak digital Indonesia dan perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dengan negara asal perusahaan digital.
Seperti pendapat Lang yang dikutip oleh Anggi P.I. Tambunan (2019), hak memajaki penghasilan yang diterima perusahaan digital dunia dibatasi oleh keberadaan perjanjian penghindaran pajak berganda yang telah disetujui pemerintah.
Dua alasan di atas tentu akan sangat menguras tenaga pemerintah dalam mengamankan penerimaan pajak yang jumlahnya terus bertambah. Karena itu, lebih baik pemerintah memproses kewajiban PPN terlebih dahulu, sembari bersabar menunggu hasil konsensus internasional seperti diupayakan OECD.
Hal ini sangat penting untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) ketika mengenakan PPh kepada raksasa-raksasa digital dunia, kecuali kalau kita memang sudah bersiap menghadapi risiko seperti Prancis.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.