PERKEMBANGAN ekonomi dan industri global semakin pesat dan inklusif dari waktu ke waktu. Mulai dari otomatisasi sektor perindustrian, minyak dan gas, perhutanan, hingga pemanfaatan teknologi digital di sektor pemerintahan dan swasta.
Kondisi ini ibarat pedang bermata dua yang memiliki sisi positif dan negatif. Percepatan proses bisnis, kemudahan akses teknologi, hingga penghematan sumber daya dan biaya merupakan dampak positif yang dapat dirasakan.
Sebaliknya, ancaman resesi ekonomi, disrupsi budaya, dan krisis lingkungan merupakan tantangan yang perlu dihadapi. Saat ini, terdapat tiga sektor utama yang dinilai bepengaruh terhadap ancaman krisis lingkungan hidup, yaitu pertambangan, industri pengolahan, dan konstruksi dan real estate.
Dalam Laporan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) per Januari hingga Oktober 2019, realisasi penerimaan pajak sektor pertambangan, industri pengolahan, dan konstruksi dan real estate masing-masing sebesar Rp47,39 triliun, Rp 277,33 triliun, dan Rp 64,80 triliun.
Meski berperan penting dalam pendapatan negara, sektor-sektor ini dianggap memiliki dampak buruk bagi lingkungan seperti emisi karbon dioksida atas pembakaran batu bara, kerusakan terumbu karang, deforestasi, serta penggunaan kendaraan dan mesin bermotor berlebihan dalam proses konstruksi.
Dampak negatif yang nyata dirasakan pada 2019 ialah kabut asap dan polusi udara di beberapa kota di Indonesia. Karena itu, tuntutan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan penyediaan kebijakan yang tepat menjadi hal yang patut mendapat sorotan dan fokus utama bagi pemerintah.
Berdasarkan Annual Meeting IMF-World Bank Group 2018, Indonesia turut berpartisipasi aktif mendukung terwujudnya ekonomi hijau (green economy) dan pertumbuhan ekonomi hijau yang berkelanjutan (green growth) sesuai dengan komitmen Sustainable Development Goals (SDG’s).
Menurut United Nations and Environment Programme, ekonomi hijau adalah upaya meningkatkan kesejahteraan dan keadilan melalui pertumbuhan lapangan kerja, pendapatan, dan pembangunan rendah emisi dengan pengurangan risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi secara signifikan.
Ekonomi hijau ini diharapkan dapat menjawab ancaman kerusakan lingkungan ke depan dengan mencegah, meminimalisasi, dan memperbaiki kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekonomi atau usaha yang terjadi di Indonesia.
Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat memanfaatkan momentum ini untuk membangun konsepsi dan kebijakan yang pasti dan efektif dalam mendukung terwujudnya ekonomi hijau di Indonesia, salah satunya melalui pajak hijau (green taxes).
Empat Manuver
OECD menyebutkan pajak hijau merupakan pendapatan pajak yang menyertakan aspek lingkungan. Pada 2016, pendapatan pajak lingkungan di Indonesia berada di bawah mayoritas negara OECD dan G20 dengan capaian hanya 0,8% terhadap produk domestik bruto (OECD, 2019)
Rendahnya capaian itu menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mendukung terwujudnya ekonomi hijau dan implementasi SDG’s. Kementerian Keuangan dan DJP dapat melakukan sedikitnya empat manuver strategis dalam membangun konsep dan sistem pajak hijau bagi Indonesia.
Pertama, mengoptimalkan omnibus law perpajakan untuk membangun konsep pajak hijau yang stabil dan tepat sasaran. Rencana penetapan tarif pajak daerah oleh pemerintah pusat dapat menjadi jembatan bagi pemerintah untuk kembali merancang kebijakan perpajakan yang matang.
Diperlukan adanya kejelasan desain dan karakteristik pajak yang dimaksud, yaitu pajak daerah atau inovasi pajak pusat tersendiri, penetapan tarifnya, pemungutan pajak, hingga penghindaran konsep pajak berganda (double taxation) dengan pajak lainnya.
Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan pemerintah mampu mewujudkan kepastian pemajakan pusat dan daerah sehingga mampu meningkatkan kepercayaan wajib pajak dan mendorong iklim investasi yang lebih baik.
Kedua, menyiapkan mekanisme dan instrumen pendukung pajak hijau yang efektif, efisien, dan pasti baik oleh pemerintah pusat atau pun daerah. Diperlukan adanya kejelasan mekanisme pemungutan pajak yang tepat sehingga tidak menimbulkan tarik ulur prosedur di antara pusat dan daerah.
Ketiga, melakukan koordinasi menyeluruh dengan berbagai pihak terkait seperti kerja sama dalam program-program dari OECD, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah daerah, dan sebagainya.
Keempat, melakukan sosialisasi masif dan komprehensif mengenai pajak hijau kepada para pembayar pajak. Hal ini diperlukan agar tidak menimbulkan miskonsepsi dan minimnya informasi akan pajak hijau bagi masyarakat.
Pembentukan sistem pajak hijau yang tepat, jelas, dan pasti akan mendorong terwujudnya ekonomi hijau yang menjawab tantangan dan ancaman lingkungan. Melalui pajak hijau inilah perubahan besar yang nyata akan terjadi baik bagi lingkungan hidup, otoritas pajak, maupun wajib pajak.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.