SALAH satu faktor yang memengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya adalah kepercayaan mereka baik terhadap institusi negara maupun manfaat praktis dari uang yang mereka bayarkan. Setidaknya, ada dua cara pandang yang bisa dipakai berkaitan dengan hal ini.
Pertama, menempatkan wajib pajak dan otoritas sebagai pihak yang beroposisi secara biner. Sudut pandang seperti ini akan menekankan alternatif solusi pada regulasi yang cenderung bersifat reward-punishment. Wajib pajak yang taat akan diberi reward, yang tidak taat diberi hukuman.
Kelemahannya, mentalitas yang muncul adalah meski wajib pajak taat, reward-nya belum tentu untuk dia. Jika tidak taat, terlambat atau mangkir, punishment-nya cenderung tidak terlalu ‘menakutkan’. Intinya, akan terjadi hubungan yang ‘keras’ dan ‘tegang’ antara wajib pajak dan otoritas pajak.
Kedua, melihat wajib pajak sebagai mitra otoritas. Pada tataran ini, penerimaan publik menjadi prioritas. Ada kesadaran tentang pentingnya pajak dan ‘berdosanya’ wajib pajak jika melalaikannya. Sudut pandang ini tentu lebih baik dan ideal dari sudut pandang pertama.
Sayangnya, dibutuhkan ikhtiar yang maksimal untuk sampai ke tataran itu. Ikhtiar yang terpenting adalah bagaimana menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan manfaat yang diterimanya dari uang yang dibayar ke negara, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk dirinya sendiri.
Otoritas pajak harus memastikan uang yang terkumpul melalui pajak tidak akan disalahgunakan. Administrasi yang kuat, meliputi efektivitas dan efisiensi adalah salah satu kuncinya. Efektif dalam pengumpulan penerimaan dan dalam menjaga hubungan yang setara dengan wajib pajak.
Dalam konteks ini terkandung makna edukasi, harmonisasi, dan responsibilitas. Otoritas pajak harus selalu memberi pendidikan dan pemahaman kepada wajib pajak perihal peran sentral pajak dalam pembangunan.Tentu saja, tidak selalu dibutuhkan forum yang formal untuk kepentingan itu.
Namun, harus dibangun sistem pendidikan berkelanjutan di mana masyarakat selalu mendapat asupan informasi tentang pajak yang harus dibayarnya, manfaat yang diperoleh, dan sebagainya. Informasi yang memadai akan membangun harmonisasi antara wajib pajak dan otoritas pajak.
Pada gilirannya, tanggung jawab keduanya terbagi sempurna. Otoritas pajak memberi pemahaman, edukasi, mengumpulkan, dan mempertanggungjawabkan pajak yang dikumpulkannya secara hukum dan administratif, sementara wajib pajak bertanggung jawab membayar pajak tepat waktu.
Pemungutan Pajak
DALAM pemungutan pajak, Adam Smith telah menuliskan asas equality, certainly, conveniency of payment, dan low cost of colection. Asas pertama menyebut wajib pajak membayar pajak sesuai dengan kemampuannya, sehubungan dengan laba yang diperoleh di bawah perlindungan negara.
Warga menyisihkan sebagian keuntungannya dalam jangka waktu tertentu untuk disumbangkan ke negara. Tidak boleh ada diskriminasi atas wajib pajak oleh negara. Harus ada perlakuan yang sama tentang objek dan perhitungan jumlah pajak yang harus dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu.
Asas kedua menekankan kepastian atas waktu, jumlah dan cara pembayaran. Kepastian hukum sangat ditekankan terutama mengenai subjek dan objek. Kepastian ini akan menumbuhkan kepercayaan tak ada pengecualian atas subjek dan objek; demikian pula besaran, waktu, dan cara pembayaran.
Asas ketiga menekankan pada kenyamanan wajib pajak pada saat akan membayar pajak. Tentu saja ini terkait ‘pemilihan’ waktu yang tepat, misalnya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan dilakukan pada saat petani memperoleh uang yaitu pada saat panen.
Sementara azas keempat menekankan biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari hasil pajak yang diterima. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan anggaran belanja negara. Penekanannya pada transparansi dan akurasi perhitungan berdasarkan kebutuhan negara.
Kepercayaan masyarakat akan tumbuh jika pemerintah dapat memastikan pajak yang dibayarkan dimanfaatkan untuk kegunaan lebih besar. Analogi dalam lingkup yang lebih kecil misalnya, ketika panitia pembangunan masjid mengharapkan kesediaan masyarakat untuk menyumbang.
Masyarakat akan terlebih dahulu mempertimbangkan kapasitas, kapabilitas, dan kepercayaan mereka terhadap panitia pembangunan masjid. Kapasitas dan kapabilitas di sini adalah apakah panitia mampu mengelola sumbangan yang akan terkumpul sehingga bisa menggunakannya dengan baik.
Tingkat kepercayaan yang dimaksud di sini adalah bagaimana mentalitas panitia, baik secara personal maupun sebagai institusi. Jika ada anggota panitia yang diketahui secara umum sering berlaku curang dan memang tidak dapat dipercaya, dengan sendirinya masyarakat akan enggan menyumbang.
Kalau panitia itu dipercaya, masyarakat akan menyumbang dan sumbangan itu akan dipergunakan sebaik-baiknya dan tepat sasaran sesuai dengan rencana. Sumbangan tidak akan disalahgunakan baik karena ketidakmampuan panitia mengelola anggaran, atau bahkan dikorupsi. Itu yang perlu diingat.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.