Teguh Budiono,
āJATUH bangunnya negara ini sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta. Jangan mengharapkan bangsa lain respek terhadap bangsa ini, bila kita sendiri gemar memperdaya sesama saudara sebangsa, merusak dan mencuri kekayaan Ibu Pertiwi."
Kutipan dari Bung Hatta ini seharusnya menjadi penyemangat bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk melakukan bela negara. Adapun bela negara adalah istilah yang tercantum dalam konstitusi, khususnya Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Berdasarkan pada pasal tersebut, setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Berdasarkan pada pasal tersebut, bela negara secara konstitusional merupakan hak dan kewajiban yang mengikat seluruh warga negara Indonesia. Kegiatan bela negara harus dilakukan untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta mewujudkan cita-cita bangsa.
Adapun cita-cita yang dimaksud adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa; serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Menurut penulis, pendekatan bela negara itu dapat diimpelementasikan dalam strategi pemungutan pajak. Pendekatan ini memandang pajak yang dipungut negara digunakan untuk memenuhi cita-cita bangsa Indonesia. Tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk serta memastikan optimalisasi pengumpulan dan penggunaan penerimaan pajak dengan tepat.
Terlebih, penerimaan pajak masih menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara. Prabowo-Gibran juga menjanjikan rasio pendapatan negara mencapai 23% terhadap produk domestik bruto (PDB). Target itu cukup tinggi mengingat realisasi pendapatan negara pada 2023 sekitar 13,3% terhadap PDB.
Kinerja rasio penerimaan pajak ā yang mendominasi pendapatan negara ā terhadap PDB (tax ratio) juga hanya sebesar 10,31% pada 2023. Dengan demikian, untuk meningkatkan rasio pendapatan negara ataupun perpajakan, pemerintah akan menemui tantangan. Apalagi, masih ada ketidakpastian ekonomi global.
Pendekatan bela negara dalam pemungutan pajak menjadi strategi baru dan berbeda dari sebelumnya untuk menghadapi tantangan ke depan. Strategi pemungutan pajak ini diharapkan tidak menambah beban baru bagi masyarakat sehingga tidak menjadi unpopular policies.
IMPLEMENTASI pendekatan bela negara dalam pemungutan pajak dapat diwujudkan dalam whistleblowing system. Selama ini, kita sudah mengenal adanya whistleblowing system untuk pelanggaran dalam konteks penyelenggara negara. Tujuannya untuk melaporkan adanya dugaan penyelewengan yang tak jarang berkaitan dengan pemungutan dan penggunaan uang pajak.
Skema tersebut sejalan dengan pendekatan bela negara. Masyarakat atau warga negara memang harus memastikan pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan sekaligus pemanfaatan pajak untuk mencapai cita-cita kolektif bangsa Indonesia, seperti ulasan di awal. Dalam konteks pendekatan bela negara, setiap orang berhak dan berkewajiban mempermasalahkan adanya pelanggaran tersebut.
Selain itu, whistleblowing system yang terpercaya juga perlu diperluas cakupannya. Ke depan, pelanggaran yang dilaporkan bisa berupa ketidakpatuhan wajib pajak itu sendiri. Jadi, selain menjadi wajib pajak yang patuh, masyarakat dapat ikut melaporkan adanya ketidakpatuhan dari orang pribadi dan/atau badan usaha melalui whistleblowing system.
Penggunaan whistleblowing system ini terbukti sukses di Amerika Serikat. Sejak Internal Revenue Service (IRS) Whistleblower Program diluncurkan pada 2007 hingga Juni 2024, otoritas berhasil mengumpulkan US$7 miliar dan memberi reward lebih dari US$ 1,2 miliar kepada whistleblower. Pada 2023, IRS mengumpulkan US$338 juta dan memberi reward US$88,8 juta untuk whistleblower.
Berdasarkan pada laporan Occupational Fraud 2024: A Report To Nation dari Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), sebanyak 43% fraud terdeteksi melalui informasi dari whistleblower. Persentasenya lebih besar dibandingkan dengan pendeteksian melalui audit internal (14%), management review (13%), dan alat pendeteksi fraud lainnya.
Melihat data tersebut, whistleblowing system sejatinya cukup menjanjikan bagi pemerintah untuk mengungkap ketidakpatuhan wajib pajak (terutama wajib pajak besar) yang sulit diungkap oleh otoritas perpajakan. Apalagi, whistleblowing system bersifat sukarela dengan kesamaan tujuan sebagai satu bangsa melalui pendekatan bela negara tadi.
Pada saat yang bersamaan, melalui skema tersebut, otoritas dapat memberikan deterrent effect. Thuronyi (1996) mengatakan bahwa apabila melanggar peraturan dan tidak tertangkap, seseorang akan melakukan pelanggaran lain, bahkan dalam skala yang lebih besar.
Penerimaan pajak dari pengungkapan ketidakpatuhan ini diharapkan dapat menjadi tambahan pendapatan negara, tetapi tidak menambah beban masyarakat. Program ini menjadi lebih menarik jika dibarengi dengan pemberian dengan reward bagi masyarakat pelapor (whistleblower), seperti yang dilakukan oleh IRS.
Besaran reward dapat mengikuti skema yang telah diterapkan IRS. Dalam IRS Whistleblower Program, reward yang diberikan kepada masyarakat pelapor sebesar 15% hingga 30% dari jumlah pajak yang dipulihkan. Besaran itu juga masih dapat disesuaikan dengan pertimbangan pemerintah. Informasi harus berkontribusi secara signifikan terhadap pemulihan pajak yang substansial.
Program ini dapat dikelola oleh otoritas perpajakan seperti di IRS atau pihak lain, misalnya tax ombudsman. Program ini diharapkan dapat menjadi strategi baru bagi pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan, memberikan efek jera kepada wajib pajak yang tidak patuh, sekaligus menjadi bentuk bela negara bagi masyarakat.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.