LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Optimalisasi Kebijakan Pajak Sektor Informal: Gig Economy dan UMKM

Redaksi DDTCNews
Kamis, 12 September 2024 | 11.26 WIB
ddtc-loaderOptimalisasi Kebijakan Pajak Sektor Informal: Gig Economy dan UMKM

Edwin Aqil Faiq,

Kota Kediri - Jawa Timur

AKSELERASI peningkatan tax ratio Indonesia menjadi salah satu gagasan sentral dalam mendukung Asta Cita pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran. Peningkatan tax ratio dapat membantu pemerintah dalam pendanaan pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia (SDM), pendidikan, kesehatan, serta layanan sosial untuk masyarakat.

Secara historis, Indonesia masih memiliki masalah akut terkait dengan tax ratio. Kementerian Keuangan menyebut rata-rata tax ratio Indonesia dalam 20 tahun terakhir sebesar 10,96%, kedua terendah jika dibandingkan dengan negara-negara Asean. Sementara itu, IMF dan World Bank merekomendasikan tax ratio minimum yang ideal bagi negara berkembang sekitar 15%.

Hubungan antara penerimaan perpajakan dan produk domestik bruto (PDB) – untuk melihat performa tax ratio – tidak sesederhana perhitungan matematis. Struktur perekonomian di Indonesia banyak terbentuk dari sektor informal, seperti pertanian, UMKM, dan lain-lain, yang mayoritas belum tersentuh pajak (Kuncoro, 2019).

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pekerja pada sektor informal mencapai 84,13 juta orang pada Februari 2024, setara dengan 59,14% dari total pekerja di Indonesia. UMKM di Indonesia berjumlah 66 juta unit pada tahun 2023, setara dengan 61,97% PDB Indonesia. Artinya, kontribusi sektor informal dan UMKM dalam perekonomian nasional sangat besar.

Dengan adanya digitalisasi ekonomi, sektor informal yang perlu untuk diperhatikan adalah gig economy. Lahirnya gig worker menandai tantangan baru bagi negara untuk dapat menggali potensi pajak yang masih sangat bergantung pada kepatuhan sukarela. Menurut data BPS, jumlah gig worker di Indonesia mencapai 46,47 juta orang dengan proporsi 32% total angkatan kerja pada 2022.

Dengan demikian, optimalisasi penerimaan pajak dari aktivitas gig economy perlu dilakukan. Terlebih, tingginya kontribusi gig economy dalam perekonomian nasional tampaknya juga tidak diikuti dengan kontribusi perpajakan yang tinggi. Hal ini terlihat dari masih dominannya kontribusi sektor formal dalam penerimaan pajak nasional.

Kemudian, untuk UMKM, kontribusinya yang besar dalam perekonomian tidak berbanding lurus dengan sumbangsihnya dalam pajak. Sektor UMKM masih memiliki kontribusi yang rendah dalam penerimaan pajak. Saat kondisi perekonomian nasional normal, pada 2019, penerimaan PPh UMKM bahkan hanya mencapai Rp7,5 triliun atau hanya sebesar 1,1% dari seluruh penerimaan PPh.

Pada 2021, jumlah wajib UMKM di Indonesia masih berada dalam angka 1,34 juta. Jumlah tersebut hanya sekitar 2,09% dari total 64,2 juta pelaku UMKM di Indonesia. Dari sini terlihat tampaknya desain kebijakan insentif pajak untuk UMKM, yakni PPh final 0,5% dari omzet, belum berhasil mendorong formalisasi (tercatat dalam sistem).

Gig Economy

UNTUK meningkatkan kontribusi pajak sektor gig economy, pemerintah dapat mengubah sistem pemotongan dan pelaporan pajak dari self assessment system menjadi withholding system. Thomas (2018) menggambarkan penerapan withholding system dapat memberi manfaat berupa efisiensi kepatuhan pajak dan akurasi informasi pelaporan pajak.

Pemerintah harus melakukan extra effort melalui kerja sama penunjukan platform penyedia jasa, seperti marketplace, on-demand platform, dan lainnya, sebagai pihak pemungut pajak. Kebijakan ini dapat didukung melalui pertukaran informasi dengan interkoneksi antarplatform penyedia jasa dengan sistem otoritas pajak. Hal ini dapat meminimalisasi beban administrasi platform penyedia jasa.

Melihat negara lain, pemerintah Denmark misalnya, memungut PPh untuk gig worker menggunakan application program interface (API). Sistem ini memungkinkan adanya integrasi data antara platform penyedia jasa dengan sistem otoritas pajak. Sederhananya, otoritas pajak akan memberikan data prepopulated tax berdasarkan pada informasi platform penyedia jasa yang dapat diverifikasi oleh wajib pajak dalam memenuhi kepatuhannya.

Skema serupa sangat potensial diterapkan di Indonesia. Hal ini mengingat pemerintah juga telah menyiapkan coretax administration system untuk diterapkan pada 2025. Kapasitas adminstrasi yang meningkat sejatinya juga harus diikuti dengan peningkatan basis pajak yang didapatkan.

Formalisasi UMKM

TINGKAT informalitas ekonomi yang tinggi dapat menyebabkan tidak terpenuhinya basis pajak yang diharapkan, kurangnya cakupan perlindungan pekerja, dan tidak efisiennya alokasi sumber daya (Hsieh dan Klenow, 2009). Tingginya informalitas terjadi karena kesulitan administrasi terkait dengan pendaftaran usaha, perolehan fasilitas, dan berbagai masalah birokrasi lainnya.

Penerapan insentif PPh UMKM di Indonesia pada dasarnya harus didukung dengan mudahnya birokrasi serta menariknya fasilitas lain yang akan didapatkan. Upaya formalisasi sektor ini sangat penting untuk memperluas basis pajak. Sekali lagi, jika tidak masuk ke dalam sistem, otoritas tidak akan mendapatkan realisasi dari potensi pajaknya.

Pemerintah di Rusia misalnya, menerapkan sistem one stop shop registration (OSS). Sistem ini memungkinkan pemilik usaha untuk menyelesaikan semua proses pendaftaran, perizinan, dan administrasi di satu tempat. Sistem ini juga berdampak pada pengurangan birokrasi dan waktu yang diperlukan untuk memulai bisnis.

Pelaku usaha yang telah mendaftarkan dirinya pada sistem OSS di Rusia akan mendapatkan program pendanaan, konsultasi, pelatihan, dan program dukungan lainnya. Hal tersebut sangat penting untuk menarik minat UMKM untuk melakukan formalisasi usaha.

Sedikit berbeda dengan Rusia, pemerintah Republik Dominika mengimplementasikan kebijakan OSS yang terintegrasi untuk seluruh lembaga kementerian, termasuk Kementerian Keuangan. Langkah inovasi ini dapat memberikan dorongan kenaikan formalisasi UMKM sebesar 30% dan menghasilkan basis pajak yang lebih luas bagi negara. Pendaftaran usaha menggunakan sistem ini diperkirakan dapat menghemat biaya dari U$1000 menjadi U$150 (Bobic et al, 2022).

Skema tersebut pada gilirannya akan meningkatkan basis pajak. Dalam konteks Indonesia, ekstensifikasi menjadi langkah penting. Basis pajak yang lebih luas sangat diperlukan dalam upaya peningkatan tax ratio di Tanah Air. Inklusi ekonomi antara sektor informal dan formal merupakan faktor krusial dalam meraih asa penerimaan yang berkelanjutan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Fahar Khair Widarto
baru saja
Fix menang ini mah, panit mending langsung kasih pialanya aja
user-comment-photo-profile
raffiassya
baru saja
Sangat informatif, semoga dengan adanya sumbang asih pemikiran dalam artikel ini membuat Indonesia khususnya pada pekerja informal dapat mengoptimalkan penerimaannnya. Mengingat kebutuhan pemerintah yang semakin kompleks. Saya rasa dengan Gig Economy melalui core tax dan Formalisasi UMKM melalui insetif PPh UMKM dapat menambah basis pajak. Meski masih banyak kurangnya, Indonesia tetap berbenah setiap tahunnya pada sistem perpajakan dari negara lain juga solusi untuk penghematan biaya dan pengaruh masalah birokrasi.
user-comment-photo-profile
Iqbal Nurrasyid
baru saja
Tolong Panitia kasih pialanya langsung ke penulis ini. #Juara