LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Opsi Kebijakan Alternatif PPN 12%

Redaksi DDTCNews
Rabu, 11 September 2024 | 15.45 WIB
ddtc-loaderOpsi Kebijakan Alternatif PPN 12%

Choirul Anam,

Kabupaten Mojokerto - Jawa Timur

SESUAI dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) akan kembali naik menjadi 12% yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Jika melihat historinya, kenaikan tarif ini tidak lepas dari paket kebijakan pajak yang telah ditetapkan pemerintah dan DPR melalui Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Melalui UU HPP, dalam momentum pascapandemi Covid-19, DPR dan pemerintah sepakat mengubah UU PPN. Salah satu poin perubahannya adalah kenaikan tarif PPN secara bertahap. Kenaikan pertama telah berlaku mulai 1 April 2022, yakni dari 10% menjadi 11%. Selain tarif, UU HPP juga mengubah sejumlah pengaturan terkait pengecualian PPN.

Kenaikan tarif PPN tersebut dibarengi dengan kebijakan lain dalam UU Pajak Penghasilan (PPh). Salah satu kebijakannya bersifat ‘insentif’ karena pemerintah menaikkan threshold pada layer pertama tarif PPh orang pribadi dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Kemudian, ada juga pengaturan penghasilan bruto hingga Rp500 juta tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi UMKM.

Kenaikan tarif PPN itu tidak terlepas dari adanya kebutuhan optimalisasi penerimaan pajak untuk mendanai pembangunan. Terlebih, berdasarkan pada Laporan Kinerja 2023 Ditjen Pajak (DJP), PPN (dalam negeri dan impor) menyumbang 41,51% dari total penerimaan pajak. Dengan demikian, kenaikan tarif PPN akan turut berdampak pada perbaikan tax ratio Indonesia.

Kebijakan tersebut juga dilatarbelakangi fakta relatif rendahnya tarif PPN Indonesia. Berdasarkan pada data yang diolah oleh DDTC Fiscal Research and Advisory dari data IBFD di 127 negara menunjukkan bahwa per 2020 rata-rata tarif PPN global adalah sebesar 15,4%. Di 31 negara Asia, rata-ratanya sebesar 12%.

Terdapat negara-negara yang memiliki tarif PPN di kisaran 0% hingga 5%. Namun, jumlahnya sedikit. Mayoritas, atau lebih dari 70 negara, ternyata memiliki tarif lebih dari 15%. Adapun tarif 10%, seperti diterapkan di Indonesia, hanya diimplementasikan di 10 negara, antara lain seperti Korea Selatan, Vietnam, Australia, dan Paraguay (Darussalam, 2021).

Pertanyaannya, apakah menaikkan tarif PPN merupakan langkah terbaik dalam kondisi saat ini?

Bagaimanapun, kenaikan PPN terhadap semua barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) akan berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini didorong dari aktivitas konsumsi masyarakat. Konsumen akan mendapat tambahan beban konsumsi, sedangkan produsen akan menanggung risiko kenaikan biaya produksi sehingga investasi turun.

Dalam jangka pendek, berdasarkan pada kajian empiris yang dilakukan di beberapa negara yang menaikkan tarif PPN, konsumsi masyarakat cenderung naik dalam beberapa bulan sebelum kenaikan tarif PPN berlaku. Kemudian, konsumsi masyarakat akan menurun pada masa awal pemberlakuan tarif PPN, sebelum akhirnya kembali normal (Kristiaji, 2022).

Dampak regresif sebagai akibat dari objektifitas PPN membuat masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah akan lebih terpukul dengan kenaikan tarif. Pada saat bersamaan, pemerintah juga berencana menambah barang kena cukai (BKC) pada 2025. Hal ini akan berisiko membayangi prospek ekonomi ke depan.

Sebagai gambaran, International Monetary Fund (IMF) memproyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2025 akan stagnan pada level 3,2% dengan tingkat inflasi cukup tinggi sebesar 4,5%. Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, ekonomi Indonesia diproyeksi akan tumbuh 5,1%-5,5% pada 2025 dengan tingkat inflasi 1,5%-3,5%.

Opsi Alternatif Kebijakan

DALAM konteks tersebut, terdapat beberapa opsi alternatif kebijakan yang bisa diambil pemerintah selain menaikkan tarif PPN. Terlebih, UU PPN masih memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15% lewat penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan bersama DPR.

Pertama, peninjauan ulang fasilitas PPN dibebaskan. Melalui UU HPP, pemerintah telah mengubah pengaturan tentang BKP dan JKP. Barang dan jasa yang semula masuk kelompok non-BKP dan non-JKP kini sudah masuk BKP dan JKP. Namun, pemerintah masih memberikan fasilitas PPN dibebaskan atas BKP/JKP tersebut. Sederhananya, tidak ada penambahan objek yang dikenai PPN.

Oleh karena itu, pemerintah dapat mengkaji ulang fasilitas PPN dibebaskan tersebut. Selain untuk meningkatkan penerimaan PPN, ada upaya keberpihakan pemerintah terhadap kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah. Ide ini sejatinya juga sudah disampaikan pemerintah saat mengajukan rancangan UU HPP.

Sebagai contoh, beras dan daging yang dikonsumsi masyarakat sangat variatif. Terdapat beras dan daging premium yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas. Menurut penulis, beras dan daging premium tersebut sangat wajar apabila tidak mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan. Ada ruang bagi pemerintah untuk menerapkan skema tersebut meskipun perlu kajian detail teknisnya.

Kedua, peningkatan efisiensi pemungutan PPN. Dari sisi efisiensi, Indonesia baru mengumpulkan 63,58% dari total PPN yang seharusnya dipungut (Media Keuangan, 2022). Dengan kata lain, masih terdapat ruang peningkatan efisiensi pengumpulan PPN. Implementasi dari coretax system yang didukung data kredibel akan membantu otoritas meningkatkan efisiensi pemungutan PPN.

Ketiga, pengkajian ulang batasan pengusaha kena pajak (PKP). Indonesia menerapkan threshold omzet yang cukup tinggi untuk pengukuhan sebagai PKP, yakni Rp4,8 miliar. World Bank (2022) mencatat nilai tersebut 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata negara-negara OECD (DDTCNews, 2024). Hal ini mengurangi kesempatan pengenaan PPN secara lebih luas.

Penurunan threshold atau ambang batas tersebut, selain memberikan basis pemajakan yang lebih luas, juga memberikan keadilan dari sisi masyarakat dan mewujudkan netralitas PPN dari sisi perdagangan. Hal ini dikarenakan setiap masyarakat akan membayar pajak dengan jumlah yang sama atas jenis barang yang sama.

Selain itu, ambang batas PKP juga tak jarang dimanfaatkan oleh pengusaha untuk melakukan penghindaran pajak, seperti melakukan pemecahan usaha. Indonesia dapat melakukan pengaturan lebih lanjut sehingga atas pengusaha yang menerapkan skema tersebut tetap diwajibkan melakukan pemungutan PPN.

Ketiga, pengkajian ulang jenis batang mewah. Pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), selain untuk mengurangi dampak regresif dari PPN, juga dapat mengatur pola konsumsi masyarakat. Pemerintah telah menetapkan jenis barang mewah selain kendaraan bermotor melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 96/2021 s.t.d.d PMK 15/2023.

Namun demikian, pengkajian ulang atas jenis barang mewah perlu dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi dan pola konsumsi masyarakat yang terus berkembang. Hal ini termasuk atas aset digital yang menjadi koleksi masyarakat dengan penghasilan tinggi.

Keempat, peningkatan kontribusi PPh orang pribadi. Dibandingkan dengan PPN yang mengejar keadilan horizontal, pemerintah Indonesia dapat berfokus pada PPh orang pribadi untuk mewujudkan keadilan vertikal.

Penerimaan pajak negara-negara OECD sebagian besar ditopang PPh orang pribadi. Hal ini belum terjadi di Indonesia sehingga perlu ada peningkatan. Cara yang bisa dtempuh adalah perubahan struktur tarif progresif atau peningkatan pengawasan yang lebih intens terhadap masyarakat yang memiliki peghasilan lebih tinggi.

Pada akhirnya, terdapat berbagai alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, selain kenaikan tarif PPN. Idealnya, kenaikan tarif pajak tidak mengganggu efisiensi pasar dengan tax deadweight loss – distorsi terhadap permintaan dan penawaran – yang relatif kecil.

Perluasan basis pajak lewat pengurangan fasilitas PPN dibebaskan dan perluasan cakupan barang mewah akan lebih memberikan keadilan bagi masyarakat. Selain itu, untuk mencapai keadilan vertikal, tarif progresif dalam skema PPh OP juga layak bisa disesuaikan. Pada akhirnya, pengawasan didukung dengan sistem dan data kredibel akan mewujudkan penerimaan pajak yang optimal.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.