Ika Fransisca,
ISTILAH pengusaha kecil dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) merujuk pada pengecualian kewajiban untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Tujuannya adalah mendorong pengembangan usaha kecil dan menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi UMKM. Pengecualian diberikan berdasarkan pada pemenuhan batasan penjualan barang kena pajak (BKP)/ jasa kena pajak (JKP) setahun yang ditetapkan menteri keuangan.
Batasan tersebut dapat disesuaikan mengikuti kondisi ekonomi, inflasi, dan kebijakan fiskal. Terakhir, melalui PMK 197/2013 s.t.d.d PMK 164/2023, batasan penyerahan BKP/JKP bagi pengusaha kecil adalah tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun buku. Batasan ini naik signifikan bila dibandingkan ketentuan sebelumnya dalam PMK 68/2010, yakni Rp600 juta.
World Bank (2024) berpandangan batasan senilai Rp4,8 miliar tersebut sangat tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Misal, Britania Raya £90.000 (Rp1,84 miliar), Swiss CHF100.000 (Rp1,82 miliar), dan Prancis €85.800 (Rp1,48 miliar) (Caragher, 2024).
World Bank menyatakan tingginya batasan pengusaha kecil di Indonesia secara signifikan menggerus potensi pendapatan dari sektor PPN. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila fiskus ‘berlomba’ menetapkan PKP secara jabatan demi menutup kehilangan potensi PPN.
Disadari atau tidak, pengecualian bagi pengusaha kecil tersebut menyebabkan PPN kehilangan beberapa karakteristik legalnya. Sebagai pajak objektif misalnya, pengecualian PPN seharusnya berbasis objek dan bukan subjek.
Pembatasan subjek menyebabkan hilangnya beban PPN konsumen. Artinya, tidak ada pajak atas konsumsi BKP/JKP saat bertransaksi dengan non-PKP, padahal esensi PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri (Sukardji, 2014).
Selain itu, tidak dikenakannya PPN saat PKP bertransaksi dengan non-PKP akan meniadakan netralitas PPN. Hal ini berdampak pada ketidakadilan level playing field sehingga memicu penghindaran pajak oleh wajib pajak (Farahdina dan Laksito, 2016; Hanggana, 2017).
Adapun salah satu bentuk penghindaran pajak yang marak ialah fenomena bunching. Fenomena bunching merupakan upaya wajib pajak untuk tetap berada dalam batasan pengusaha kecil sehingga terbebas dari kewajiban PKP, misalnya dengan membuat entitas baru (Nurfauzi et al., 2019 dalam Wijaya et al, 2022).
Dalam konteks negara-negara lain, EU VAT Directive (2006) misalnya, mengisyaratkan bahwa pengecualian PPN ‘dapat diberikan’ bagi usaha kecil. Artinya, pengecualian atau pembebasan PPN bagi usaha kecil yang disampaikan dalam EU VAT Directive hanya bersifat arahan dan bukan suatu keharusan. Spanyol, Yunani, dan Turki adalah contoh negara yang tidak mengikuti arahan.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Perlukah pemangku kebijakan mendesain ulang batasan pengusaha kecil?
DALAM jangka pendek, penulis memandang perlu adanya desain ulang tarif PPN. Pemerintah dapat mengaktifkan tarif PPN final untuk UMKM dibarengi dengan penyesuaian batasan pengusaha kecil. Batasan Rp4,8 miliar diturunkan menjadi sama dengan kriteria usaha mikro sesuai dengan PP 7/2021, yaitu penjualan tahunan di bawah Rp2 miliar.
Berikutnya, untuk memberi kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan, bagi pengusaha yang memiliki penjualan tahunan senilai Rp2 miliar hingga Rp15 miliar (lihat kriteria usaha kecil sesuai PP 7/2021) dapat diterapkan PPN final dengan tarif lebih rendah (Pasal 9A UU PPN).
Untuk jangka menengah, pemerintah diharapkan secara bertahap mengembalikan netralitas PPN dan karakteristik legal PPN sebagai pajak konsumsi dalam negeri. Desain yang ditawarkan adalah pengalihan kewajiban pemungutan PPN dari pengusaha kecil kepada konsumen selaku pemikul beban pajak.
Tugas penjual hanya mengadministrasikan dan melaporkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) pembeli melalui pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP). Dengan PSIAP yang berbasis NIK, tidak mustahil utang PPN pembeli dapat terlihat secara realtime pada akun pembeli.
Selanjutnya, melalui fitur deposit pajak yang disediakan dalam PSIAP, pembeli dapat dengan mudah melakukan pembayaran PPN terutang. Bagi pembeli dengan kriteria bukan konsumen akhir (non-end customer) dan PKP, PPN yang telah dibayar dapat dikreditkan.
Desain semacam ini dikenal di Uni Eropa sebagai Reverse Charge Mechanism (RCM) (Ickowicz, 2024). Awalnya, RCM diterapkan di negara Uni Eropa untuk barang tertentu. Kemudian, dalam perkembangannya, RCM dipakai untuk mengatasi penghindaran pajak (Ebrill et al., 2001 dalam Sagala dan Wijaya, 2022).
Adapun skema kebijakan yang serupa dengan RCM di Indonesia dapat ditemukan pada mekanisme setor sendiri PPN jasa luar negeri, PPN tanggung renteng, dan PPN kegiatan membangun sendiri.
Dengan beralihnya pemungutan PPN pengusaha kecil menjadi konsumen setor sendiri maka PPN akan kembali pada karakteristik legalnya. Selain itu, pengusaha kecil sebagai penjual tidak terbebani compliance cost yang tinggi karena desain ini menggandeng PSIAP yang memang dirancang untuk kemudahan.
Di sisi lain, desain ulang pemungutan PPN pengusaha kecil ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara sekaligus memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Harapannya, pada kemudian hari, tidak ada lagi cerita pengukuhan PKP secara jabatan oleh fiskus demi menutup potensi PPN yang hilang. Pada akhirnya, penulis berharap desain ini dapat mendongkrak penerimaan negara tanpa mencederai UMKM.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.