LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Defisit BPJS dan Peran Earmarking untuk Sumber Pendanaan Berkelanjutan

Redaksi DDTCNews
Rabu, 01 November 2023 | 14.21 WIB
ddtc-loaderDefisit BPJS dan Peran Earmarking untuk Sumber Pendanaan Berkelanjutan

Ardian Dwi Saputra,

Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta

PROGRAM Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan fasilitas dan layanan kesehatan yang layak. Hal ini sejalan dengan UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sekaligus perwujudan dari Pasal 34 UUD 1945. 

Lebih lanjut, secara empiris World Health Organization (WHO) menyusun standardisasi pelayanan kesehatan yang layak yang kemudian dikenal sebagai universal health coverage (UHC). Capaian UHC ditentukan berdasar 3 parameter.

Pertama, adanya jaminan bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh akses pelayanan kesehatan yang bermutu dan esensial sesuai dengan kebutuhannya.

Kedua, masyarakat terhindar dari pengeluaran kesehatan katastropik (catastrophic healthcare expenditure), yakni kondisi ketika angka pengeluaran kesehatan sebuah rumah tangga melebihi 40% dari pendapatan yang tersisa setelah dikurangi biaya sehari-hari. Sederhananya, pengeluaran kesehatan katastropik muncul ketika ongkos kesehatan melampaui kemampuan sebuah rumah tangga dan memberatkan ekonomi keluarga. 

Ketiga, adanya jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan pelayanan kesehatan.

Bilamana ketiga indikator tersebut tercapai, dapat dikatakan sebuah negara telah memenuhi kriteria UHC. 

Skema JKN di Indonesia diperkenalkan pada 2014 dengan tujuan ambisius, yakni memenuhi UHC bagi masyarakat. Program ini bertujuan untuk memastikan semua orang di Indonesia memiliki akses ke pelayanan kesehatan dasar tanpa mengalami kesulitan finansial.

Melalui program JKN, warga negara dan penduduk yang memenuhi syarat berhak atas berbagai layanan, termasuk perawatan primer, rawat inap, dan beberapa perawatan khusus. Selain itu, program JKN juga diupayakan mampu memenuhi hak dasar kesehatan seluruh lapisan masyarakat secara inklusif. Salah satu skema yang digunakan untuk mewujudkan hal ini yakni dengan penerapan skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) bagi kelompok masyarakat yang miskin.

Ancaman Defisit Anggaran

DENGAN berbagai peran krusial di atas, program JKN juga memiliki tantangan besar terkait dengan ketersediaan anggaran. Ditinjau dari aspek kebutuhannya, setidaknya ada 3 hal yang diperlukan ke depannya untuk mengembangkan JKN.

Pertama, penguatan upaya promotif maupun preventif untuk meningkatkan potensi risiko penyakit. Kedua, peningkatan kapasitas pelayanan. Ketiga, perluasan fasilitas kesehatan sehingga terwujud kemudahan akses.

Melalui proyeksi tersebut, anggaran BPJS Kesehatan diprediksi mengalami defisit pada 2025 (Muttaqien, 2023). Jika merunut jejak historis, ancaman ini telah terjadi secara nyata yakni dalam rentang 2014 hingga 2018. Selama periode tersebut, BPJS Kesehatan hanya sekali mengalami surplus, yakni pada 2016 (Aidha, 2020). Uraian kondisi tersebut menunjukkan bahwa keterbatasan anggaran menjadi rintangan utama bagi program JKN.

Lebih lanjut, perlu kiranya mengetahui penyebab-penyebab ancaman defisit anggaran BPJS Kesehatan. Mengacu kepada riset PRAKARSA (2019), penulis merangkum ada 8 faktor yang menyebabkan defisit anggaran. 

Pertama, tingginya beban pembiayaan jaminan kesehatan yang melebihi sumber pendapatan. Kedua, kontribusi iuran peserta yang sangat rendah, jauh di bawah angka klaim jaminan kesehatan. Ketiga, pengelolaan keuangan BPJS yang tidak transparan.

Keempat, belum optimalnya cakupan peserta dari seluruh kategori mulai dari PBI, Peserta Penerima Upah (PPU), maupun Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU). Kelima, rendahnya tingkat kepatuhan peserta dalam membayar iuran khususnya dalam kategori PBPU.

Keenam, beban pembiayaan kesehatan terhadap penyakit katastropik yang terus meningkat. Ketujuh, FKTP sebagai gatekeeper belum berfungsi maksimal karena masih berfokus pada tindakan kuratif, bukan pelayanan promotif dan preventif. Kedelapan, inefisiensi skema rujukan berjenjang. 

Terhadap berbagai permasalahan di atas, artikel ini akan berfokus membahas alternatif solusi terhadap skema sumber pendanaan BPJS Kesehatan. Merujuk pada PP 87/2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan, Pasal 38 mengatur setidaknya terdapat 3 skema yang dapat dilakukan jika terjadi defisit dana jaminan sosial kesehatan.

Pertama, yakni penyesuaian iuran BPJS Kesehatan. Kedua, pemberian suntikan dana tambahan untuk kecukupan dana jaminan sosial. Ketiga, penyesuaian manfaat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, ada catatan kritis terhadap ketiga skema tersebut, terutama model pendekatan yang digunakan masih bersifat represif.

Skema tersebut kiranya berpotensi memiliki beberapa implikasi buruk. Misalnya, penyesuaian kenaikan tarif BPJS yang tentunya kontraproduktif dengan tujuan program JKN sendiri agar dapat menyediakan layanan kesehatan yang terjangkau. Selain itu, suntikan dana tambahan juga hanya bersifat sementara, pun juga gagal mengatasi masalah utama defisit anggaran BPJS karena rendahnya tingkat penerimaan yang masih dominan ditopang iuran peserta. Oleh karena itu, perlu ada alternatif kebijakan lain yang mampu secara berkelanjutan mencegah dan mengatasi masalah defisit anggaran BPJS.

Peran Skema Earmarking 

Kebijakan earmarking diartikan sebagai sebuah kebijakan pemerintah dalam menggunakan anggaran yang sumber penerimaan maupun program pengeluarannya secara spesifik ditentukan peruntukannya. Dalam konteks program JKN, konsep ini sejatinya telah digunakan ketika penerimaan negara dari cukai rokok dengan jumlah tertentu dialokasikan sebagai sumber pendanaan untuk program JKN.

Opsi earmarking ini merupakan salah satu alternatif yang paling potensial untuk diterapkan dalam menambah sumber pemasukan program JKN dibanding skema lainnya. Setidaknya ada 2 argumentasi utama untuk mendukung klaim ini.

Pertama, skema penyesuaian iuran berupa kenaikan tarif akan kontraproduktif dengan tujuan program JKN yang ingin menyediakan layanan kesehatan yang terjangkau. Kedua, masih terbukanya peluang pengenaan basis-basis pajak atau pungutan baru di Indonesia, misalnya dalam hal ini cukai.

Di Indonesia, cukai masih terbatas dikenakan terhadap hasil tembakau, etil alkohol, dan minuman mengandung etil alkohol. Padahal berkaca pada negara lain, cukai diterapkan pada lebih banyak objek mulai dari plastik, minuman manis, cukai kendaraan bermotor, dan objek lainnya.

Alternatif pungutan lain yang belum diterapkan di Indonesia misal wealth tax atau pajak kekayaan. Terlebih, pajak ini memiliki fungsi utama sebagai redistribusi pendapatan dan mengurangi ketimpangan ekonomi di masyarakat. Selain itu, skema earmarking juga dapat diterapkan dengan menggunakan pajak maupun pungutan lainnya yang telah eksis di status quo.

Dengan berbagai alternatif tersebut, terlihat masih ada peluang optimalisasi untuk meningkatkan sumber penerimaan program JKN oleh BPJS yang dapat dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini menjadi urgensi tersendiri dalam upaya mencapai SDGs poin ketiga mengenai kehidupan yang sehat dan sejahtera. 

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.