Dwiki Agung Pebrianda,
SELAIN sandang dan pangan, papan atau hunian adalah kebutuhan primer manusia. Bukan hanya memberi perlindungan, tempat tinggal menjadi tempat kita berkreasi dan mengembangkan potensi. Pembentukan jati diri kita, baik itu dalam aspek agama, sosial, maupun budaya, tidak terlepas dari peran rumah sebagai tempat bernaung.
Ada temuan menarik tentang hunian ini. Pentingnya peran hunian ternyata tidak linier dengan tingkat keterjangkauannya. Mengutip data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 83,99% rumah tangga yang memiliki hunian sendiri. Di perkotaan, angkanya turun menjadi 78,31%. Bahkan di DKI Jakarta, skornya makin turun menjadi hanya 50,67%. Isu soal kepemilikan rumah ini makin riuh dibicarakan oleh anak muda perkotaan yang berupaya memiliki huniannya sendiri.
Fakta tentang sulitnya memiliki rumah bisa-bisa tak cuma melukai perasaan kelompok ekonomi lemah, tetapi juga masyarakat secara umum. Akses kepemilikan rumah tak yang tidak mudah berpotensi memperlebar ketimpangan antarkelompok sosial. Pada akhirnya, aspek sosial pun bisa terdampak, yakni ancaman terhadap kerukununan antarmasyarakat.
Lantas, apa solusinya?
Hukum dasar ekonomi menyatakan bahwa harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Harga mengalami kenaikan ketika permintaan melebihi penawaran. Ini disebabkan penjual yang punya posisi tawar lebih dibanding pembeli sehingga punya ruang untuk menaikkan harga.
Dengan asumsi kurva permintaan rumah tetap, maka titik krusialnya adalah bagaimana mendongkrak penawaran rumah. Makin banyak stok rumah di pasaran, makin kuat pula posisi tawar pembeli sehingga diharapkan harga dapat turun.
Satu hal yang perlu diingat terkait dengan rumah adalah isu ketersediaan tanah. Berbeda dengan produksi barang lain yang naik turun, jumlah tanah bersifat fixed. Isu terpenting pun menjadi bagaimana jumlah fixed tersebut dimanfaatkan secara maksimal untuk memenuhi permintaan rumah.
Halte bus, stasiun kereta, dan kawasan perkantoran adalah contoh kawasan strategis. Tanpa insentif membangun, tanah di sekitar lokasi ini rentan menjadi target penimbunan yang dijual ketika harga naik selangit. Padahal, justru di sekitar kawasan inilah yang perlu dibangun rumah dalam jumlah masif.
Penulis memandang dalam kondisi inilah konsep land value tax (LVT) yang dipopulerkan oleh Henry George bisa menyumbang peran.
LVT adalah sebuah konsep pajak atas nilai tanah tanpa mempertimbangkan struktur apapun yang melekat padanya. Berbeda dengan pajak properti pada umumnya, LVT tidak mengenakan pajak pada bangunan, murni pada tanah.
LVT dapat menjadi solusi rumah murah karena sifatnya yang menaikkan biaya kepemilikan tanah. Berhubung tanah berjumlah tetap, maka kenaikan biaya kepemilikan tidak akan mengubah jumlah tanah, melainkan mengubah insentif pemilik dalam memperlakukan tanah miliknya.
Pemilik tanah tidak bisa mengendalikan nilai tanah. Namun, jika nilai tanah naik maka pajak pemilik juga naik. Secara tidak langsung, LVT akan menuntut pemilik untuk memaksimalkan manfaat tanahnya agar dapat mengimbangi kenaikan pajak yang pasti dan harus ditangggung.
Di sinilah penurunan harga rumah dapat dicapai lewat dua cara. Pertama, bangunan bukanlah objek LVT. Artinya, membangun banyak rumah lebih menguntungkan bagi pemilik tanah karena pendapatan naik tetapi pajak tetap. Hal ini termasuk bangunan padat seperti apartemen.
Kedua, hal ini berpotensi mencegah spekulasi tanah yang meroketkan harga rumah. Berhubung ada risiko pajak tambahan di setiap pembelian, berakhir sudah masa ketika orang bisa menimbun tanah dengan tenang selama puluhan tahun, berharap untung dari naiknya valuasi.
LVT akan mengubah tanah menjadi investasi aktif. Tidak lagi bisa tanah dibeli lalu ditinggal tidur alias ditimbun puluhan tahun. Dengan LVT, tanah harus terus dikembangkan agar memberi hasil yang mampu menutup beban pajaknya. Tanah bukan lagi safe haven investor pasif.
Kombinasi keduanya lah yang diharapkan mampu mendongkrak stok rumah di pasaran. Jika stok meningkat, harapannya adalah harga bisa turun.
Namun, seperti kata pepatah, konsep ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.
Indonesia sebenarnya sudah punya pajak properti, yakni Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Namun, pajak ini kurang progresif karena dasar pengenaannya yang masih jauh dari nilai pasar. Implikasinya, menimbun lebih untung daripada membangun.
Merevolusi PBB-P2 menjadi LVT adalah langkah tepat yang bisa dicoba pemerintah daerah. Hal ini semakin krusial jika kita lihat sumbangsih Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masih rendah pada APBD. Dengan LVT, PBB-P2 punya kans besar untuk memperkuat APBD Kabupaten/Kota.
Walaupun ini tentu tidak mudah, bukan berarti mustahil. Posisi PBB-P2 adalah kewenangan daerah dan ini sebenarnya sangat menguntungkan. Ada setidaknya 2 alasan mengapa PBB-P2 membuka ruang penerapan LVT. Alasan ini juga berkaitan dengan aspek politik, terutama menjelang pesta demokrasi seperti saat ini.
Pertama, pemberlakuan PBB-P2 berpeluang menciptakan variasi antardaerah. Maksudnya, akan ada daerah yang menerapkan LVT dan berhasil menekan harga rumah, ada yang tidak. Kondisi ini bisa dimanfaatkan masyarakat untuk memilih politisi atau pejabat mana saja yang mampu menyediakan hunian terjangkau.
Kedua, kebijakan daerah lebih mudah diubah dibandingkan kebijakan pusat. Makin tinggi hierarki kewenangan, makin banyak pula calon pemilih yang harus diyakinkan. Selain itu, kepentingannya juga makin beragam. Apalagi, belum tentu semua daerah mengalami krisis hunian.
Politisi daerah harusnya bisa mengapitalisasi isu ini dalam kampanye mereka. Dengan membawa isu ini, mereka berkesempatan menarik suara banyak kalangan, terutama kalangan muda yang terancam tak mampu membeli rumah. Hal ini makin relevan di perkotaan, semisal Jakarta.
Tentu disadari bahwa tidak mudah membawa gagasan ini ke publik, belum lagi praktiknya. Namun, perlu kita sadari bahwa waktu terus berjalan. Jangan sampai kita lupa lalu menua tanpa atap menaungi kepala.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.