LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Gender Based Taxation: Membangun Keadilan dan Kesetaraan Pajak

Redaksi DDTCNews
Jumat, 15 September 2023 | 14.00 WIB
ddtc-loaderGender Based Taxation: Membangun Keadilan dan Kesetaraan Pajak

Aji Widya Firmansyah,

  Situbondo, Jawa Timur

PERAN perempuan dalam perekonomian tidak boleh dipandang sebelah mata. Kesenjangan gender dapat menghambat kinerja pendapatan suatu negara, terutama di negara berkembang.

Fenomena tersebut bisa berujung pada penurunan tingkat pendidikan dan partisipasi tenaga kerja perempuan. Padahal, keterlibatan tenaga kerja perempuan selama ini telah terbukti berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta mengurangi  ketimpangan pendapatan (OECD 2022, Coelho et al, 2022). 

Sayangnya, kesenjangan gender masih menjadi isu yang kurang populer di Indonesia. Hal itu membuat Indonesia bertengger di peringkat ketiga di Asean sebagai negara dengan kesetaraan gender terburuk. 

Berdasarkan laporan World Bank bertajuk Women, Business, and Law 2023, perempuan di Indonesia masih tertinggal dari laki-laki dalam hal akses terhadap pekerjaan, kewirausahaan, serta keuangan dan aset. Perempuan Indonesia juga dipandang masih memikul tanggung jawab yang tidak proporsional terkait dengan pekerjaan dan pengasuhan. 

Hal itu dapat dilihat dari ketimpangan tingkat partisipasi angkatan kerja di Indonesia berdasarkan gender, yakni sebanyak 56,43% untuk perempuan dan 83,83% untuk laki-laki. Selain itu, rata-rata upah buruh laki-laki 22,09% lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan (Badan Pusat Statistisk (BPS), 2022).

Melihat fenomena tersebut, sebenarnya kebijakan fiskal melalui insentif maupun pajak dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengatasi kompleksitas permasalahan kesenjangan gender. Sistem pajak dapat berkontribusi dalam mendorong kesetaraan gender dengan berbagai cara. Pajak dapat mendorong partisipasi angkatan kerja, keputusan dalam berwirausaha, dan hingga sebagai pertimbangan investasi.  

Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pemerintah harus memastikan bahwa intervensi kebijakan di bidang perpajakan tidak berdampak negatif terhadap sasaran di ranah kesetaraan gender. Mengarusutamakan perspektif kesetaraan gender ke dalam analisis kebijakan pajak dapat secara signifikan meningkatkan kualitas kebijakan publik (OECD, 2022).  

Belajar dari Negara Tetangga 

Pada dasarnya, pemerintah Indonesia telah mengintegrasikan kebijakan gender dalam sektor perpajakan, seperti halnya keleluasaan dalam memilih status NPWP. Tak cuma itu, pemerintah juga menyediakan PTKP senilai Rp54 juta, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Artinya, pemerintah telah mengakomodir hak yang sama bagi perempuan ataupun laki-laki. 

Namun, tampaknya masih ada aspek yang masih perlu ditinjau terkait dengan kesetaraan gender di bidang perpajakan ini. Perlu diingat, setara bukan berarti sama. Karenanya, pemerintah harus mempertimbangkan beberapa faktor dalam merumuskan kebijakan pajak, seperti upah, partisipasi kerja, dan 'elastisitas' karakter perempuan terhadap kebijakan pajak. 

Menurut Kaliskova (2020), perempuan cenderung lebih elastis atau fleksibel terhadap kenaikan tarif pajak. Hanya saja, studi yang sama juga membuktikan bahwa kenaikan tarif pajak ikut berimbas terhadap penurunan probabilitas kerja perempuan. Selain itu, Kaliskova juga mengungkap bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi, sudah menikah, mempunyai anak, dan ibu tunggal cenderung lebih fleksibel dalam menghadapi dinamika kebijakan pajak. 

Seyogianya, Indonesia dapat mempelajari best practice dari negara tetangga yang telah berhasil dalam mengimplementasikan kebijakan gender based taxation, misalnya Malaysia dan Singapura. 

Kedua negara tersebut berhasil mengakomodir hak-hak perempuan secara adil melalui kebijakan tax relief. Kebijakan yang disusun oleh Malaysia dan Singapura dianggap cukup memberi peluang bagi perempuan untuk berkarier guna mewujudkan ekonomi yang inklusif. 

Malaysia misalnya, benar-benar memperhatikan seluruh aspek kesejahteraan, baik bagi orang tua, anak, disabilitas, maupun perempuan. Sebagai contoh, pembelian peralatan dasar, biaya pengobatan,  pemeriksaan medis dan mental, buku, serta alat menyusui dan penitipan anak yang ditujukan untuk diri sendiri, pasangan, anak maupun orang tua yang cacat, dapat dijadikan sebagai pengurang pajak.  

Begitu pula dengan Singapura yang memberikan fasilitas pajak bagi perempuan yang memilih untuk tetap bekerja. Fasilitas tersebut dijuluki Working Mother’s Child Relief (WMCR). WMCR memberikan potongan pajak sebesar 15% untuk anak pertama, 20% untuk anak kedua, 25% untuk anak ketiga, serta anak berikutnya dari total penghasilan seorang ibu. WMCR tersedia bagi seorang ibu yang bekerja, baik dengan status menikah, bercerai, ataupun janda. 

Tax relief dapat mengurangi beban pajak dan meningkatkan earning after tax sehingga memberikan insentif bagi perempuan untuk tetap bekerja (Dabla-Norris & Kochhar, 2019). Becermin dari Malaysia dan Singapura, Indonesia  perlu melakukan terobosan serupa sebagai upaya mempromosikan gender based taxation

Mendesain Kebijakan Pajak  

Sebagai upaya menghilangkan bias dalam sistem pajak Indonesia, baik eksplisit (tarif/threshold pajak) maupun implisit (kesenjangan upah/angkatan kerja), diperlukan kebijakan yang komprehensif. Pada dasarnya, menghilangkan bias-bias ini dapat membuat sistem pajak menjadi lebih adil dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan angkatan kerja dan wirausahawan perempuan (OECD, 2022; ADB, 2023).

Berikut 3 desain kebijakan yang dapat dipertimbangkan. 

Pertama, kebijakan untuk individual income. Pemerintah dapat memberikan tax relief untuk perempuan seperti insentif pengasuhan anak dan WMCR, tarif pajak yang lebih rendah untuk  perempuan, dan perlakuan istimewa untuk jaminan sosial. Hal itu bertujuan untuk mendorong partisipasi angkatan kerja tanpa memberikan beban tambahan pada perempuan dikarenakan tingkat perbedaan upah dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. 

Kedua, kebijakan untuk corporate. Pemerintah dapat memberikan tax incentive untuk  perusahaan/bisnis yang dipimpin oleh perempuan, mempekerjakan karyawan perempuan, atau berkontribusi pada jaminan sosial bagi perempuan. Tujuannya adalah memantik lingkungan bisnis yang ramah terhadap perempuan, seperti cuti melahirkan serta mendorong minat berwirausaha  perempuan untuk mendongkrak perekonomian. 

Ketiga, kebijakan yang secara tidak langsung berpengaruh bagi perempuan. Misalnya, perlakuan  istimewa untuk produk yang secara eksklusif dikonsumsi oleh perempuan, barang dan jasa dasar, properti yang dimiliki oleh perempuan dan pajak/cukai yang lebih tinggi untuk barang-barang konsumsi tertentu (alkohol/tembakau).

Kebijakan tersebut bisa meringankan beban perempuan. Nantinya sisa pendapatan dapat dialokasikan untuk investasi, bisnis, atau kebutuhan anak dan rumah tangga. 

Sebagai penyempurnaan, pemerintah juga perlu memperhatikan 2 hal. Pertama, memperkuat  akses dan ketersediaan data terpilah gender dari sisi konsumsi, pendapatan, dan aset/kekayaan. Kedua, memeriksa behavioral responses untuk mengukur implikasi dari gender based taxation. Dengan demikian, pemerintah dapat secara mudah dalam merancang dan menganalisis efektivitas  kebijakan sehingga mampu memutuskan kebijakan insentif maupun disinsentif pajak secara bijak. 

Lantas, apakah para calon pemimpin yang maju dalam pemilu 2024 mampu mengusung dan mengakomodir ide-ide kesetaraan gender dalam kebijakan perpajakannya? Kita lihat nanti. (sap)

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Joko Suprapto
baru saja
Tulisan yang luar biasa,analisa anda kuat sekali.Situbondo butuh putra-putra daerah seperti saudara untuk mengurusi masalah kompleksitas dan rendahnya partisipasi pajak di daerah..