LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Geopolitik dalam Pemajakan Ekonomi Digital

Redaksi DDTCNews
Selasa, 12 September 2023 | 14.00 WIB
ddtc-loaderGeopolitik dalam Pemajakan Ekonomi Digital

Septian Fachrizal,

Tangerang Selatan, Banten

PEMERINTAHAN modern membutuhkan banyak dana untuk menjalankan kebijakan-kebijakannya. Selanjutnya, pertanyaan bagaimana dan dari mana sumber dana pemerintahan menjadi dua isu sulit dalam politik ekonomi modern (Steinmo, 1993).

Bicara soal sumber dana, isu pajak menjadi penting dalam agenda politik calon pemimpin Indonesia, terutama dalam konteks perkembangan pemajakan ekonomi digital. Indonesia memiliki ekonomi digital yang besar, dengan total nilai mencapai US$77 miliar dan proyeksi pertumbuhan senilai US$220 miliar hingga US$360 miliar pada 2025. Angka tersebut mengacu pada riset Google, Temasek, dan Bain & Company (2022).

Pilar 1, sebagai bagian dari Solusi Dua Pilar oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), merupakan solusi global untuk memajaki ekonomi digital yang sedang disusun. Indonesia sangat bergantung pada solusi ini, termasuk dalam kerangka hukum pasal 32A UU Pajak Penghasilan (PPh) dan peran Direktur Perpajakan Internasional sebagai anggota Steering Group of Inclusive Framework, seperti yang dijelaskan oleh Fachrizal (2023) dalam artikel di International Tax Review.

Prospek Pilar Satu dan Dinamika Politik Amerika Serikat

Juli lalu, OECD merilis outcome statement dari Solusi Dua Pilar, termasuk di dalamnya terkait dengan rencana penandatanganan konvensi multilateral (MLC) pada Desember 2023 dan penerapannya pada 2025. Outcome statement juga mencakup perpanjangan moratorium pengenalan digital service tax (DST) sampai dengan Desember 2024.

Pilar 1 hanya akan berlaku jika critical mass tercapai, di mana Amerika Serikat (AS) harus meratifikasi MLC mengingat mayoritas perusahaan multinasional (MNE) dalam cakupan Pilar 1 berpusat di Amerika (Avi-Yonah,2023). Namun, ada keraguan terhadap tercapainya konsensus mengingat politik AS yang memengaruhi peluang ratifikasi Pilar 1 ini. Bahkan menurut mantan direktur OECD, Pascal Saint-Amans, senat AS yang didominasi Partai Republik tidak akan meratifikasi MLC (PwC, 2023). 

Senat AS telah mengirim surat resmi yang keras menentang Solusi Dua Pilar, bahkan mengancam untuk menghentikan pendanaan AS kepada OECD. Perlu diingat, 20% dari anggaran OECD berasal dari AS (Ways and Means, 2023). Meskipun Presiden AS mendukung Pilar 1, dia harus memenangkan masa jabatan lagi dan Partai Demokrat perlu memiliki mayoritas kuat di Senat. Namun, kebijakan AS yang mendukung perubahan mendasar dalam perpajakan juga menjadi pertanyaan besar bagi Partai Demokrat (White, 2023).

Multilateralisme oleh United Nations (UN/PBB)

Pada 8 Agustus 2023, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis laporan tentang proposal kerja sama multilateral yang inklusif. Sekjen PBB menyatakan bahwa proyek OECD cenderung lebih mendukung negara-negara maju dan kurang memperhatikan kebutuhan negara berkembang (Robin, 2023). South Centre (2023) juga mencatat bahwa Pilar 1 tidak akan memberikan tambahan penerimaan yang signifikan bagi negara-negara berkembang. Menurut Barake (2023), tambahan penerimaan untuk Indonesia hanya akan meningkat sebesar 0,1% dari penerimaan PPh Badan.

Rencana kontinjensi?

Beberapa negara telah mengambil rencana cadangan jika Pilar 1 gagal. Kanada tidak menyetujui perpanjangan moratorium DST pada outcome statement dan memilih akan menerapkan DST pada Januari 2024. Pada 2 September 2023, Selandia Baru juga menyatakan akan menerapkan DST pada 2025 dengan tarif 3% (Bloomberg, 2023). Sementara itu, 12 negara lain termasuk Inggris, Prancis, India, dan beberapa negara Afrika akan tetap menerapkan DST.

Pertanyaannya, apakah kita harus menunggu perkembangan geopolitik AS atau mempersiapkan rencana cadangan jika Pilar 1 gagal? Baker (2023) merekomendasikan Plan B yang paling mungkin adalah DST.

Meskipun kontroversial, DST bisa menjadi pilihan bagi pemimpin Indonesia hingga tercapai konsensus global melalui inisiatif multilateral seperti yang dikepalai oleh OECD atau PBB. Mike Williams (2022), Direktur Bisnis dan Perpajakan Internasional Inggris, berpendapat bahwa mengingat waktu yang dibutuhkan untuk konsensus global, lebih baik memperkenalkan solusi interim seperti DST daripada tidak melakukan apa-apa.

DST bisa diterapkan di Indonesia paling cepat pada 1 Januari 2025 setelah moratorium DST berakhir. Jika OECD memperpanjang moratorium DST, Indonesia dengan politik bebas aktifnya bisa seperti Kanada dan New Zealand dengan menyatakan ketidaksetujuan terhadap perpanjangan tersebut sebagai langkah awal dalam mengambil opsi interim ini. Perpanjangan moratorium DST dianggap tidak menguntungkan karena mengurangi kepastian tercapainya critical mass Pilar 1 (Baker, 2023).

Indonesia pernah memiliki Pajak Transaksi Elektronik (PTE) dalam UU 2/2020. Namun, UU tersebut tidak berlaku lagi setelah pandemi Covid-19 berakhir. Berbeda dengan DST yang memungut pajak berbasis lokasi konsumen atau faktor pasar lainnya (OECD, 2023), PTE menggunakan pembayaran transaksi sebagai basis pajak. Karenanya, Indonesia perlu merancang skema DST baru yang berbeda dengan PTE, agar dapat mencerminkan value creation dari pengguna internet di Indonesia.

Sourcing rule dalam Pilar 1 dapat diadopsi untuk digunakan dalam desain DST, misalnya untuk objek online advertising, basis pemajakan adalah lokasi penonton iklan. Dengan sourcing rule ini, pemerintah bisa mengestimasi tambahan penerimaan negara dari satu MNE.

Berdasarkan rilis Meta (2023), sekitar 67% dari total pengguna Facebook (1,98 miliar dari 2,96 miliar) mengakses iklan Facebook Ads per awal Januari 2023. Ada sekitar 119,9 juta pengguna aktif Facebook di Indonesia. Facebook menerima US$114 miliar dari iklan sepanjang 2022 (Statista, 2023).

Dengan asumsi 67% pengguna Indonesia mengakses iklan, artinya Facebook Ads diakses 80,2 juta pengguna di Indonesia. Oleh karena itu, alokasi pendapatan Facebook Ads untuk Indonesia dalam perhitungan DST adalah US$4,61 miliar (80,2 juta / 1,98 x miliar US$114 miliar).

Artinya, dengan tarif DST 3%, Indonesia bisa mendapatkan tambahan penerimaan pajak sekitar US$138,5 juta atau Rp2,1 triliun dalam 1 tahun. Itu pun baru dari satu MNE. Penting dicatat bahwa 90% dari penerimaan DST di Inggris berasal dari GAFAM, yaitu Google, Apple, Facebook, Amazon, Microsoft (Borders et al, 2023).

DST tidak hanya praktis untuk penerimaan negara, tetapi juga untuk memberikan perlakuan yang sama antara bisnis digital dan non-digital, baik dalam maupun luar negeri.

Perusahaan digital asing selama ini mendapat keuntungan karena mereka tidak terikat pada pajak yang sama seperti bisnis lokal, seperti yang terjadi dalam kasus pemajakan Google di Indonesia pada 2019. DST membantu memastikan bahwa perusahaan digital asing juga memberikan kontribusi pajak yang adil untuk mendukung layanan dan infrastruktur publik.

Outlook perpajakan ekonomi digital perlu menjadi perhatian bagi calon pemimpin agar dapat mengikuti perkembangan geopolitik dan ekonomi global demi peningkatan penerimaan negara untuk membiayai pemerintahan dan equal treatment bagi wajib pajak.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.