LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Mengubah Pola Pikir Masyarakat tentang Pajak

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 12 Januari 2019 | 20.06 WIB
ddtc-loaderMengubah Pola Pikir Masyarakat tentang Pajak
Rustam Jufri
S1 Akuntansi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah Palopo.

DALAM benak masyarakat Indonesia, pajak adalah sebuah kewajiban masyarakat untuk membayar iuran kepada negara yang sifatnya memaksa. Meskipun wajib pajak yang telah membayar pajak tidak akan mendapat imbalan atau balas jasa secara langsung, tapi manfaatnya akan dirasakan dampaknya secara bertahap. 

Minimnya kepatuhan pajak di Indonesia masih menjadi persoalan. Mengubah pola pikir wajib pajak tentang perpajakan memang tak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Pola pikir (mindset) 'paksaan' yang sudah tertanam sejak lama dalam benak wajib pajak.

Tidak dapat dipungkiri, wajib pajak individu maupun badan berusaha sebisa mungkin untuk tidak membayar pajak. Karena itu, praktik perencanaan pajak (tax planning), penghindaran pajak (tax avoidance) hingga penggelapan pajak (tax evasion) masih kerap terjadi. 

Paradigma lama inilah yang perlu diubah. Saat ini, di banyak negara maju, definisi pajak mulai berubah ke arah yang lebih positif. Pajak diartikan sebagai kontribusi aktif masyarakat terhadap negara, bukan hanya sekadar kewajiban yang dilakukan secara terpaksa.  

Kepatuhan secara sukarela (voluntary compliance) dalam melaksanan kewajiban pajak sudah seharusnya muncul dan menjadi pola pikir yang baru. Pola pikir yang seharusnya tertanam di benak masyarakat adalah bahwa pajak itu digunakan untuk kesejahtraan masyarakat, mulai dari membangun akses jalan di daerah yang terisolir sampai pada pertumbuhan ekonomi secara nasional dan berkelanjutan. 

Jika kesadaran masyarakat akan pajak masih rendah, lalu bagaimana negara Indonesia akan maju untuk membiyai pembangunan negara, sedangkan saat ini sekitar 80% pendapatan negara bersumber dari pajak.

Pemerintah pun telah melakukan berbagai program dan kebijakan dalam meningkatkan kontribusi masyarakat dalam sistem perpajakan di Indonesia. Mulai dari sosialisasi, pendekatan persuasif, pelayanan yang lebih baik, penegakan hukum, sampai pada kebijakan pemerintah tentang pengampunan pajak (tax amnesty)hingga mengajak tokoh-tokoh bangsa dan masyarakat untuk menjadi panutan untuk segera melaporan SPT Tahunan PPh-nya.

Namun, hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2018 hanya sekitar 10,78%. Capaian itu masih jauh dibanding dengan negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia dan Filipina. Padahal, tax ratiodi dunia memiliki rata-rata 15%. Ini menandakan bahwa kepatuhan membayar pajak di Indonesia masih sangat rendah.

Sebab utama turunnya kepatuhan untuk membayar pajak adalah regulasi perpajakan yang rumit, sehingga masyarakat menjadi malas untuk membayar pajak. Adapun kasus yang sering terjadi pada saat ini tentang penggelapan pajak adalah karena masih banyak celah yang dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk melakukan kecurangan.

Kecurangan itu dilakukan misalnya dengan memanipulasi angka pendapatan dan meningkatkan angka biaya operasional. Korupsi uang pajak yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu turut mencederai kepercayaan masyarakat yang sudah patuh membayar pajak.

Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, pemerintah harus menciptakan sistem deteksi yang dapat mencegah prakti perencanaan pajak agresif, penghindaran dan penggelapan pajak, serta mengetatkan sistem pengawasan internal otoritas pemungut pajak.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.