SALAH satu sumber pendapatan negara yang palingan besar adalah pajak. Pajak sendiri menurut undang-undang merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa yang digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tak heran jika pendapatan ini akan digunakan untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pembangunan negara. Selain pembangunan, pengeluaran lainnya yang perlu dibiayai adalah pembiayaan penegakan hukum, keamanan negara, infrastruktur ekonomi, pekerjaan publik, subsidi, biaya operasional negara dan banyak lagi.
Memasuki tahun politik, pajak menjadi salah satu sorotan yang merupakan isu utama dalam penyampaian visi misi calon presiden dan calon wakil presiden (Capres-Cawapres) Republik Indonesia untuk periode 2019-2024. Kubu Capres-Cawapres Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga menyampaikan janji mereka untuk pembenahan sistem penerimaan pajak.
Di lansir dari berbagai banyak media, Jokowi-Ma'ruf Amin akan mengedepankan kelanjutan program reformasi perpajakan. Sedangkan Prabowo Subianto-Sandiaga memberi janji stimulus fiskal seperti peningkatan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) hingga pengurangan tarif pajak badan usaha.
Berbagai macam anggapan dan tanggapan kemudian muncul setelah penyampain kedua program berbeda dari kedua kubu tersebut. Banyak yang mengatakan bahwa program tersebut akan memberikan pembenahan pajak yang lebih baik ke depannya.
Namun, disisi lain banyak yang mengatakan bahwa program yang disodorkan oleh kedua kubu tersebut hanyalah sebuah strategi politik semata. Untuk itu mari kita analisis lebih jauh mengenai program pajak dari kedua pasangan Capres-Cawapres berikut ini.
Program Pajak Jokowi-Ma’ruf Amin
Di kubu pasangan nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf, setidaknya ada dua program terkait pajak yaitu melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing. Kemudian, memberikan insentif pajak bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Jokowi adalah kandidat petahana (incumbent) sehingga wajar ketika menawarkan untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dirintis sejak awal periode menjabat. Setidaknya ada empat pilar yang akan menjadi fokus transformasi pajak yang akan diwujudkan oleh petahana yaitu Sumber Daya Manusia (SDM), proses bisnis dan struktur organisasi pajak, teknologi informasi, dan masalah perundang-undangan.
Sebuah pencapaian program pajak yang sangat baik jika reformasi dari keempat pilar yang dikemukakan tercapai dengan baik. Perbaikan SDM tentu saja akan meningkatkan kompetensi keahlian maupun kedisiplinan dari para fiskus. Proses bisnis dan struktur organisasi pajak akan membuat Ditjen pajak semakin efektif dan efesien dalam melaksanakan tugasnya.
Pilar ketiga adalah teknologi informasi. Pada era digital seperti sekarang, keterlibatan teknologi informasi mutlak diterapkan dalam kebijakan pajak. Teknologi informasi bisa sangat membantu dalam penentuan profil Wajib Pajak (WP), proses pemungutan, sampai perumusan kebijakan.
Pilar terakhir adalah perundang-undangan. Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah besar. Sebab, praktis belum ada pembaruan dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), maupun Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).
Program pajak selanjutnya yang diusung oleh kubu petahana adalah memberikan insentif pajak bagi UMKM. Sebelumnya Jokowi telah meluncurkan ketentuan baru terkait PPh untuk UMKM berupa Peraturan Pemerintah (PP) No.23 tahun 2018. Aturan itu merupakan hasil revisi PP no.46 tahun 2013 tentang PPh dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
Ketentuan yang berubah adalah terkait PPh final yang sebelumnya 1% menjadi 0,5%. Tentu saja ini merupakan salah satu intensif pajak kepada pelaku UMKM yang rutin membuat pembukuan sehingga dapat mengikuti ketentuan perpajakan secara normal.
Di lain sisi ini juga dapat meningkatkan penerimaan pendapatan bagi pelaku usaha. Program intensif pajak ini semakin baik ke depannya jika tarif pajak untuk usaha kecil seperti yang ada diterapkan pada negara lain yaitu nol persen atau bebas pajak.
Inilah kemudian yang menjadi pembenahan besar besaran di bidang pajak jika kubu petahana kembali terpilih. Jika melihat fakta nyata kemudian ditafsirkan secara logika, ini adalah sebuah strategi pembenahan yang baik ke depannya bukan hanya strategi politik semata.
Program Pajak Prabowo-Sandi
Lain halnya dengan program pajak yang di ajukan pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Ma’ruf yang lebih mengedepankan reformasi pajak, kubu pasangan Capres-Cawapres Parbowo-Sandi lebih fokus kepada perumusan beberapa kebijakan fiskal yang bertujuan menjadi stimulus perekonomian masyarakat.
Pertama, meningkatkan daya beli masyarakat dengan menaikkan batas PTKP dan menurunkan tarif PPh Pasal 21. Kedua, memperbaiki tata kelola utang pemerintah dengan menggunakan hanya untuk sektor-sektor produktif yang berdampak langsung terhadap perbaikan kesejahteraan. Ketiga menghapus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama untuk meringankan beban hidup, khususnya kebutuhan papan masyarakat.
Prabowo-Sandiaga berjanji akan menurunkan tarif pajak badan Indonesia, minimal setara dengan Singapura agar Indonesia bisa kompetitif. Saat ini tarif PPh badan di Indonesia mencapai 25%, lebih tinggi dibandingkan dengantarif pajak yang dikenakan di negara lain seperti Singapura (17%).
Sementara itu, beberapa pihak menyatakan tidak sepakat jika tarif pajak Indonesia harus setara dengan Singapura. Alasannya, kedua negara memiliki karakteristik ekonomi dan preferensi fiskal yang berbeda.
Kemudian, menghapus (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama akan meringankan beban hidup, khususnya kebutuhan papan masyarakat. Namun, hal yang kemudian menjadi kontradiksi adalah PBB ini diganti dengan sebuah sistem yang bernama pajak atas nilai tanah atau Land Value Tax (LVT).
Tentu saja ini akan menunjang pemerimaan negara dari sektor pajak. Jika PBB dihapuskan kemudian diganti oleh kebijakan LVT, harus ada pertimbangan pada kebijakan tarif yang akan dikenakan. Jika tarif dari LVT tinggi, itu bukanlah sebuah penghapusan PBB tapi hanya penggantian nama kebijakannya saja.
Kebijakan yang diberikan sebagai strategi pembenahan pajak ke depannya jangan sampai dijadikan sebagai strategi politik untuk mencari eksistensi di masyarakat semata. Hal inilah yang kemudian perlu diperhatikan oleh kedua pasangan Capres-Cawapres.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.