LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Program Pajak Capres: Dongkrak Penerimaan atau Suara?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 08 Januari 2019 | 14.25 WIB
ddtc-loaderProgram Pajak Capres: Dongkrak Penerimaan atau Suara?
Rio Ferdinand Kiantara,
S1 Akuntansi Universitas Indonesia.

PAJAK dan politik ibarat inai dengan kuku, tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya. Pajak sejatinya adalah sumber pendapatan negara yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Tetapi, dalam perumusan kebijakannya tidak serta merta dapat dibuat begitu saja. Diperlukan berbagai pertimbangan berbagai kepentingan yang ada di belakang aktor perpolitikan yang ada. 

Setiap lima tahun sekali Indonesia memasuki tahun politik di mana para politikus berebut suara rakyat untuk menjadi pemangku kekuasaan dalam struktur pemerintahan. Tentunya di negara yang menganut sistem presidensial jabatan eksekutif menjadi panggung yang menjadi sorotan berbagai kalangan masyarakat.

Calon presiden dan wakil presiden menawarkan program kebijakan pajak yang tertuang dalam visi misi yang diusulkan.Lantas, bagaimanakah janji politik kebijakan pajak calon presiden dan wakil presiden Indonesia pada pemilu 2019?

Di satu sisi, ada kubu petahana Presiden Joko Widodo didampingi Ma’ruf Amin yang meneruskan arah kebijakan yang telah dibuat pada tahun 2014. Reformasi pajak yang berkelanjutan dan insentif pajak bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan fokus utama pasangan nomor urut 1 ini.

Reformasi pajak ditujukan untuk meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih terbilang rendah di Indonesia. Karena Indonesia menganut self assessment system dalam pemungutan pajak, faktor kepatuhan menjadi hal yang krusial untuk menentukan sukses atau tidaknya pemungutan pajak.

Refomasi pajak yang dimaksud terdiri dari empat pilar yakni: Sumber Daya Manusia (SDM) pajak, birokrasi pajak, teknologi informasi, dan peraturan perpajakan.

Pilar pertama, yakni SDM yang merujuk kepada para pegawai pajak yang harus semakin ditingkatkan kinerja dan integritasnya karena pajak merupakan ‘lahan basah’ yang harus disikapi dengan bijak.

Pilar kedua yakni birokasi organisasi pajak yang merujuk kepada  Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak selaku pihak yang bertanggungjawab akan pajak melalui peningkatan proses bisnis maupun struktur organisasi.

Pilar ketiga adalah teknologi informasi melalui transparansi dan aksesibilitas informasi kepada  wajib pajak. Pilar keempat adalah undang-undang perpajakan yang perlu diperbarui dan disesuaikan seiring perubahan zaman yang semakin cepat.

Sedangkan insentif bagi UMKM dilakukan melalui penurunan Pajak Penghasilan (PPh) bagi pelaku UMKM. Hal ini telah dilakukan pada tahun 2018 oleh Presiden Jokowi dengan penurunan tarif final 0,5 % melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018. Kedepannya insentif yang ada akan ditujukan seiring pertumbuhan jumlah pelaku UMKM yang semakin meningkat.

Program yang diajukan kubu petahana lebih berfokus kepada keberlanjutan inovasi kebijakan yang telah dijalankan. Akan tetapi, dengan semakin menurunnya tax ratio pada era Jokowi, apakah kebijakan yang ada masih relevan untuk mengoptimalkan pendapatan pajak di Indonesia? Hal ini menjadi catatan bagi tim Jokowi-Ma’ruf.

Di sisi lain, kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno memiliki rancangan kebijakan yang cenderung lebih ‘bernafsu’ dibandingkan kubu Jokowi-Ma’ruf Amin. Secara garis besar program yang diajukan berupa penurunan hingga penghapusan pajak di Indonesia.

Saat melihat program yang ada teringat perang politik Amerika Serikat yang lalu antara Donald Trump melawan Hillary Clinton. Program yang Presiden Trump ajukan bisa dikatakan mirip dengan program kubu oposisi ini.

Program pertama berkaitan dengan PPh yakni peningkatan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)  dan penurunan tarif PPh pasal 21. Kedua, penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk rumah pertama dan utama.

Ketiga, simplifikasi birokrasi yang bertujuan untuk meningkatkan nilai kompetitif Indonesia di dunia internasional. Keempat, pembuatan peraturan pajak yang mempermudah akses masyarakat terhadap buku.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah program kedua yang cenderung memberikan celah bagi wajib pajak untuk melakukan penipuan pajak. Dengan adanya penghapusan PBB untuk rumah pertama dapat dimanipulasi dengan perubahan properti yang paling mahal yang diakui sehingga dapat menurunkan beban pajak yang harus dibayar.

Masyarakat tentu senang dengan turunnya jumlah beban pajak yang harus mereka bayarkan. Akan tetapi dampak jangka panjangnya bagi perekonomian dapat menurunkan pendapatan negara dan meningkatkan utang untuk menutup defisit yang ada.

Tentu pertanyaannya apakah penurunan pajak yang ada ditujukan untuk peningkatan tingkat kepatuhan pajak atau hanya alat penggalang suara saja?

Program pajak yang ditawarkan kedua calon eksekutif memiliki fokus dan tujuan masing-masing. Tiap kubu yang ada tentu telah merumuskan program yang sesuai dengan pertimbangan faktor-faktor politik, ekonomi, dan lain-lain.

Maka, kita sebagai masyarakat harus melek politik dan bersikap kritis terhadap kebijakan pajak yang ada. Sebagai masyarakat yang memiliki hak suara dalam pertarungan politik tahun 2019 mendatang, kita harus terus mengawal visi misi yang ditawarkan masing-masing calon.  Dengan begitu, kebijakan pajak yang ditawarkan tidak disalahgunakan sebagai alat politik saja.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.