LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Menanti Reformasi Pajak Pasca-Pemilu 2019

Redaksi DDTCNews
Kamis, 03 Januari 2019 | 17.05 WIB
ddtc-loaderMenanti Reformasi Pajak Pasca-Pemilu 2019
Fitriani Dalimunthe,
S1 Bilingual Biology Education UNIMED.

DISKUSI mengenai isu perpajakan sebagai salah satu pemasukan negara paling besar tidak akan pernah ada habisnya. Kebutuhan perekonomian nasional yang terus meningkat tidak sebanding dengan tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih rendah.

Persoalan tersebut masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi calon pemimpin Indonesia yang akan terpilih pada pemilihan umum presiden (pilpres) 2019. Ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres), yaitu Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi.

Dari berbagai referensi, masing-masing kandidat sudah mempersiapkan visi misi terkait isu perpajakan. Kebijakan pajak yang diusung nantinya dapat menjadi tolak ukur masyarakat untuk memilih satu di antara dua pasangan tersebut.

Berdasarkan visi misi masing-masing kandidat capres-cawapres, kubu Jokowi-Ma’ruf Amin mempersiapkan dua kebijakan yang menjadi daya tarik dari pasangan pertama ini yaitu memberikan intensif pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta melanjutkan reformasi perpajakan.

Perwujudan dari intensif pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dapat ditilik dari pengeluaran kebijakan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) yang mulanya 1% final menjadi 0,5% bagi pelaku UMKM.

Aturan tersebut diberlakukan secara efektif per 1 Juli 2018 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintahan (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sebagai pengganti atas PP Nomor 46 Tahun 2013.

Terlepas dari intensif perpajakan yang telah diberlakukan tersebut, kebijakan lain yang menjadi daya tarik dari pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin yaitu mengenai reformasi perpajakan dalam bentuk pengelolaan sektor fiskal yang dimanfaatkan sebagai key peningkatan daya saing perekonomian nasional dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Bukan tidak mungkin reformasi perpajakan tersebut dapat terwujud mengingat kebijakan di tahun-tahun pemerintahan Jokowi-JK selama masa petahana membuahkan hasil dinilai dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) pada tahun 2016-2017, terbitnya UU Akses Informasi Keuangan tahun 2017, dan sekarang reformasi perpajakan yang sedang dilanjutkan hingga tahun 2022 mendatang.

Sedangkan kubu Prabowo-Sandi mengupayakan reformasi birokrasi yang dianggap menghambat sistem perpajakan digandeng dengan menaikkan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dan menurunkan tarif PPh pasal 21 orang pribadi serta menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.

Bukan main, kubu Prabowo-Sandi berani menjajikan suatu pengupayaan yang bisa menimbulkan stimulus pada perekonomian Indonesia. Hingga saat ini, batasan PTKP adalah Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun.

Dengan adanya kenaikan batas PTKP, realisasi penerimaan PPh diharapkan selalu meningkat. Namun, dampak positif penerimaan perpajakan akibat kenaikan PTKP dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti peningkatan jumlah wajib pajak, tingkat inflasi, perubahan penghasilan rumah tangga, perubahan UMR, serta ekstensifikasi perpajakan yang merupakan aspek paling signifikan di tengah kebijakan kenaikan PTKP.

Selain itu, rencana penghapusan PBB yang bertujuan untuk meringankan beban hidup, khususnya kebutuhan papan masyarakat akan berdampak kontraproduktif pada perekonomian domestik jika tidak dikendalikan dengan benar dan lebih tepat jika konsep PBB diubah menjadi Land Value Tax (LVT), di mana pajak menitikberatkan kepada nilai tanah, bukan bangunan yang ada di atasnya.

Menurut skema LVT, pemilik tanah yang lahannya digunakan untuk kegiatan ekonomi atau dibiarkan menganggur, diharuskan untuk membayar pajak. Penerapan LVT, selain menaikkan penerimaan pajak, diestimasi dapat mendorong para spekulen untuk membuka ladang usaha atau kegiatan produktif lainnya yang nantinya akan menimbulkan efek multiplier positif dengan tidak hanya ‘mengosongkan’ tanah tersebut.

Reformasi perpajakan dengan kenaikan, penurunan dan penghapusan pajak oleh kubu Prabowo-Sandiaga Uno diidentikkan dengan fiscal conservatism. Di mana, paham tersebut membuat sejumlah kebijakan untuk mengubah aspek dalam perpajakan dengan maksud untuk menstimulus dunia usaha.

Kedua kandidat pasangan jelasnya tidak satu padu dalam kebijakan perpajakan. Namun, meskipun berbeda, di mana kandidat pertama akan melanjutkan program apa yang sudah ada dan kandidat kedua memperbaharui program dengan mendongkrak apa yang sudah ada. Kedua pasangan tetaplah ingin memberikan yang terbaik untuk Indonesia lebih maju. Lantas harapan perbaikan sistem pajak pada periode 2019-2024 ada di tangan siapa? Masyarakat Indonesia yang menentukan.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.