MENELISIK jauh ke belakang, Indonesia pernah mencatatkan rekor buruk dalam hal pencapaian penerimaan pajak. Pada 2014 lalu, penerimaan pajak hanya mencapai 91,75% dari target atau hanya mampu berada di angka Rp1.143,3 triliun dari Rp1.246,1 triliun. Pencapaian realisasi pajak tersebut terendah selama 25 tahun terakhir.
Pada tahun yang sama, pasangan Jokowi-JK resmi dilantik dan menggantikan pendahulunya, tepatnya pada Oktober 2014. Namun, rasanya tidak fair bila minimnya pencapaian target pajak dikaitkan dengan pasangan presiden dan wakil presiden tersebut, mengingat tutup buku penerimaan pajak terjadi saat keduanya baru menjabat dua bulan.
Pertanyaannya, akankah situasi yang sama terjadi lagi di pemilu tahun depan? Yang menurut data rundown pelantikan presiden dan wapres terpilih akan dilaksanaka sekitar Agustus hingga Oktober. Bila memang ini harus terjadi kembali, bagaimanakah dua pasangan ini, Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga akan bertindak? Tidak ada yang tahu persis, tetapi masyarakat bisa melihat dari bagaimana konsistensi masing-masing terhadap kebijakan pajak yang dicanangkan.
Secara umum, kedua pasangan ini sama-sama menaruh perhatian besar terhadap isu perpajakan, setidaknya ini dilihat dari tercantumnya pajak dalam visi-misi kedua pasangan. Ini menandakan mereka mengetahui bagaimana besarnya penerimaan pajak akan berpengaruh terhadap jalannya program mereka yang lain, seperti pembangunan yang merata dan berkeadilan oleh Jokowi-Ma’ruf Amin dan medorong pembangunan berkualitas yang mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi oleh Prabowo-Sandiaga.
Selanjutnya, ada perbedaan cara antarpasangan dalam membuat kebijakan, di mana secara garis besar pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin menitikberatkan pada keberlanjutan program, sedangkan pasangan Prabowo-Sandiaga lebih menitikberatkan pada bagaimana cara agar hadirnya kewajiban pajak tidak membebankan tapi menjadi stimulus perekonomian masyarakat.
Secara mendetail, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin pertama-tama akan melanjutkan reformasi kebijakan fiskal untuk menghadirkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang sehat, adil, dan mandiri, serta mendukung peningkatan kesejahteraan, penurunan tingkat kesenjangan, dan peningkatan produktivitas rakyat. Kedua, melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing.
Ketiga, mengoptimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan sistem yang terintegrasi serta tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel. Keempat, memperkuat sinergi tiga pilar. Masing-masing kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil guna memperbaiki ketersediaan sumber pembiayaan, menurunkan tingkat bunga, sekaligus mendorong produksi nasional.
Sebagai langkah pertama, mungkin ini dapat dibilang baik, mengingat kebijakan fiskal selama kepemimpinan Jokowi dianggap sebagian besar mampu menjaga kondisi fiskal dan moneter yang diklaim aman. Salah satu kebijakan fiskal yang mampu menyumbang Rp135 triliun untuk kas negara adalah tax amnesty atau amnesti pajak. Kebijakan yang dirancang dengan tiga periode ini bisa dianggap sebagai keberhasilan pemerintahan Jokowi. Amunisi lain Jokowi-Ma’ruf Amin salah satunya adalah kebijakan fiskal tax holiday.
Melompat ke langkah ketiga di mana PNBP akan dioptimalkan. Tentu, seiring pengoptimalan PNBP, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin juga harus meningkatkan pengawasan guna menghindari kesalahan dan penyelewengan dana oleh oknum tertentu, apalagi jumlah dana PNBP bukan main-main.
Contohnya saja per semester I 2018 PNBP sudah mencapai Rp176,83 triliun. Pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin haruslah terus memperhatikan pengendalian internal terkait pengelolaan PNBP mengingat pada 2016 lalu BPK menemukan kelemahan dalam pengelolaan PNBP dan memberikan rekomendasinya kepada pemerintah.
Untuk pasangan Prabowo-Sandiaga, rumusan kebijakan fiskal dibuat untuk menjadi stimulus perekonomian masyarakat. Pertama, meningkatkan daya beli masyarakat dengan menaikkan batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Kedua, memperbaiki tata kelola utang pemerintah dengan menggunakan hanya untuk sektor-sektor produktif yang berdampak langsung terhadap perbaikan kesejahteraan. Ketiga, menghapus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama untuk meringankan beban hidup, khususnya kebutuhan papan masyarakat.
Kebijakan fiskal dari pasangan ini sepertinya lebih menarik untuk dikupas karena keberanian pasangan ini menaikkan, menurunkan, bahkan menghapus apa yang sudah ada. Kebijakan pertama adalah menaikkan batas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang kelak akan berdampak semakin sedikitnya masyarakat wajib pajak karena penghasilannya sama atau di bawah PTKP.
Bila pasangan ini berkomitmen untuk menaikkan batas PTKP, maka akan semakin banyak masyarakat yang terbebas dari PPh, sehingga PPh menurun, tetapi di sisi lain justru PPN akan meningkat karena daya beli yang bertambah. Ini mungkin dianggap strategi yang baik dari pasangan Prabowo-Sandiaga guna menggairahkan perekonomian.
Kebijakan fiskal selanjutnya dari pasangan ini adalah penghapusan PBB untuk rumah tinggal utama dan pertama. Bila kebijakan ini kelak berlaku, pasangan Prabowo-Sandiaga harus menghitung kembali berapa pendapatan negara akan hilang setelah ditiadakaannya PBB tersebut dan bagaimana dampak serta solusi untuk menutupi absennya pajak dari ranah PBB.
Terlepas dari siapapun yang terpilih pada Pilpres 2019 nanti, kedua pasangan sama-sama hadir dengan menunjukkan kebijakan yang cerdas dan baik untuk negara Indonesia. Segala kebijakan tentunya mempunyai kelebihan serta kekurangan yang mengiringinya. Sekarang, kembali kepada rakyat Indonesia untuk memilih mana yang terbaik dalam mengurusi pajak, satu atau dua?*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.