Pendiri Tax Center Universitas Kristen Indonesia sekaligus Dosen UK Maranatha Timbul Hamonangan Simanjuntak saat memberikan paparan dalam webinar, Rabu (26/8/2020).
BANDUNG, DDTCNews—Para akademisi menilai ketentuan insentif PPh Final UMKM ditanggung pemerintah (DTP) masih terbilang rumit sehingga berdampak terhadap rendahnya jumlah penerima manfaat insentif tersebut.
Pandangan akademisi tersebut disampaikan dalam acara webinar berjudul ‘Relaksasi Pajak UMKM dan Koperasi di Tengah Pandemi Covid-19’. Program yang digelar 26 Agustus 2020 ini diselenggarakan oleh Universitas Kristen (UK) Maranatha.
Acara ini dibagi dalam tiga sesi materi. Materi pertama disampaikan Direktur TAXAcc Consulting Bandung Nur Hidayat. Dia memaparkan dasar hukum pemberian insentif pajak UMKM sekaligus manfaat yang diperoleh bagi wajib pajak UMKM.
“Manfaat yang paling spesifik bagi UMKM adalah sama sekali tidak perlu membayar PPh. Wajib pajak hanya perlu melaporkan realisasi setiap bulannya tanpa perlu mengajukan surat keterangan,” kata pria yang juga Dosen Magister Akuntansi UK Maranatha.
Materi kedua disampaikan oleh Pendiri Tax Center Universitas Kristen Indonesia sekaligus Dosen UK Maranatha Timbul Hamonangan Simanjuntak. Dia menjelaskan peranan relaksasi pajak UMKM dari perspektif asas, kepatuhan pajak, dan fiskal.
Timbul menyebut keikutsertaan UMKM yang memanfaatkan fasilitas relaksasi masih sangat rendah, yaitu 201.880 UMKM per 10 Juli 2020 lantaran UMKM menilai kewajiban membuat laporan realisasi insentif rumit dan menghambat.
“Selain itu, layanan internet di berbagai daerah menjadi hambatan utama, baik karena tidak paham, beban pulsa, maupun hambatan sinyal. Bahkan ada daerah yang pelaku UMKM lebih memilih tetap membayar PPh final,” jelas Timbul.
Timbul merekomendasikan sosialisasi dan edukasi pajak dilakukan dengan bahasa, materi, dan cara yang sederhana. Hal tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi budaya daerah sehingga dapat berjalan secara maksimal.
Selain itu, perlu juga adanya revisi atas PMK 86/2020 guna meniadakan kewajiban pelaporan bulanan. Menurutnya, pemerintah perlu menekanan jika fasilitas ini bersifat pilihan, sehingga wajib pajak yang tetap mau membayar dapat terakomodir.
“Tidak lupa perlunya upaya modernisasi UMKM dan usaha rumah tangga agar bisa bersaing secara global, mengingat UMKM tidak saja menjadi penggerak roda ekonomi nasional, tetapi berperan menciptakan peluang kerja,” imbuhnya.
Materi ketiga dibawakan Dosen Universitas Indonesia Andreas Adoe. Menurutnya, banyak wajib pajak yang kurang memahami ketentuan pajak bahkan menganggapnya rumit. Mereka takut melakukan kesalahan yang berujung terkena sanksi.
“Begitu juga dengan pembukuan laporan keuangan. Sekalipun wajib pajak mendapat PPh final 0,5%, jika tidak memiliki laporan tersebut akan dianggap belum melaporkan pajak. Ini menjadi tantangan bagi pelaku usaha dalam melaporkan pajaknya,” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Jawa Barat Ivan Yudianto menuturkan pemerintah perlu membantu UMKM di pandemi ini mengingat UMKM adalah penggerak utama bagi perekonomian nasional.
“Dari 64,2 juta unit usaha di Indonesia, sekitar 91,9% adalah UMKM dan 90% tenaga kerja terserap di sektor ini. Jadi, saya pikir pemerintah harus membantu UMKM bangkit pada masa pandemi ini,” tuturnya seperti dilansir Marantha News.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.