JAKARTA, DDTCNews—Sebanyak 75% peserta debat menginginkan dana stimulus penanganan wabah pandemi virus Corona atau Covid-19 ditambah, sementara sisanya 25% menginginkan tidak ditambah, tetapi hanya diperbaiki pengelolaannya.
Lomba debat#MariBicara DDTCNews kali ini diikuti oleh 32 peserta. Dari seluruh peserta itu, DDTCNews menetapkan Agustine Catur S. sebagai pemenang lomba debat periode 27 April-11 Mei 2020. Agustine menyugesti agar dana stimulus tersebut ditambah.
“Covid-19 merupakan masalah kesehatan yang dampaknya luas. Menyelesaikan pandemi harus jadi fokus utama pemerintah. Stimulus diperlukan sebagai kompensasi atas kebijakan pembatasan serta respons masyarakat, sehingga besaran stimulus perlu ditambah bertahap,” katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan alokasi dana untuk sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, dan perlindungan sektor usaha terdampak harus menjadi prioritas. Ketepatan, kecepatan, dan kesederhanaan dalam pemberian stimulus perlu terus didorong.
Di sisi lain, sambungnya, perluasan kapasitas fiskal pemerintah harus diusahakan. Semua opsi pendanaan defisit perlu dibuka, tetapi harus hati-hati. “Mengoptimalkan penerimaan pajak dari transaksi digital dan sektor lain yang tidak terdampak dapat menambah ruang fiskal pemerintah,” katanya.
Senada dengan Agustine, M. Afsa Naufal Karim berpendapat pemerintah seharusnya memberikan stimulus lebih dari 2,5% terhadap produk domestik bruto. Dengan penambahan dana itu, pemerintah akan lebih leluasa dan lebih cepat bertindak dalam menangani pandemi Covid-19.
“Sebaiknya mengeluarkan stimulus lebih besar dari yang diberikan sekarang, seperti negara lain yang memberi stimulus lebih dari 10% agar perekonomian masyarakat tetap stabil dan bisa mengikuti aturan pemerintah yang mengharuskan kita di rumah saja,” katanya.
Agak berbeda dengan Agustine, Puspita Kirana berpendapat stimulus tidak perlu ditambah, tetapi harus dikaji ulang pengelolaannya. Kenyataannya, stimulus yang lebih besar pada kartu prakerja dibandingkan dengan sektor kesehatan membuat stimulus tidak efektif.
“Alasannya, dalam situasi pandemi yang mencetak lesunya daya beli pasar membuat masyarakat lebih membutuhkan bantuan langsung berupa subsidi kebutuhan primer atau tunai, sehingga ada daya beli masyarakat yang melemah dan membuat supply chain tidak berhenti,” katanya. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.