Ilustrasi.
PHNOM PENH, DDTCNews - Pemerintah Kamboja mencatat nilai potensi penerimaan negara yang hilang karena penerapan tarif bea masuk preferensial sudah hampir mencapai US$800 juta atau setara dengan Rp11,9 triliun dalam beberapa tahun terakhir.
Wakil Dirjen Bea dan Cukai Pha Engveng mengatakan tarif bea masuk preferensial diberikan berdasarkan perjanjian perdagangan bebas (FTA). Menurutnya, insentif ini dimaksudkan mendorong investasi di sektor otomotif dan elektronik, serta mendukung pengusaha lokal.
"Kamboja telah menandatangani FTA di bawah Asean dan Asean Plus. Pada semester I/2022 saja, kami telah memperhitungkan impor bebas bea dari negara-negara Asean sudah mendekati US$200 juta," katanya, dikutip pada Minggu (7/8/2022).
Engveng menuturkan penerimaan kepabeanan akan selalu tergantung pada kegiatan perdagangan internasional. Menurutnya, pengumpulan jenis penerimaan ini akan optimal apabila tren ekonomi global juga mencatatkan kinerja positif.
Meski demikian, penerimaan kepabeanan juga dipengaruhi kebijakan yang berlaku. Salah satunya ialah kebijakan pemberlakuan tarif bea masuk preferensial yang membuat potensi penerimaan negara menyusut.
Tarif bea masuk preferensial misalnya diberikan atas impor bahan baku dan penolong asal negara tertentu yang digunakan dalam produksi produk substitusi di dalam negeri. Untuk tujuan ini, potensi penerimaan negara yang hilang karena tarif preferensial mencapai lebih dari US$500 juta.
Lalu, pemerintah kehilangan potensi penerimaan sekitar US$60-US$70 juta pada tahun ini karena implementasi peta jalan untuk mendorong sektor otomotif dan elektronik.
"Peta jalan ini disiapkan pemerintah untuk mengalihkan manufaktur dari proses produksi padat karya ke model produksi berteknologi tinggi," ujar Engveng dilansir phnompenhpost.com. (rig)