Dirjen Pajak Suryo Utomo.
PIDATO Presiden Jokowi bertajuk Visi Indonesia pada 14 Juli 2019 mengungkap 5 gagasan utama yang ingin dicapai dalam 5 tahun mendatang. Kelima hal ini adalah melanjutkan pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas SDM, mendorong investasi, mereformasi birokrasi, dan membuat APBN lebih tepat guna.
Dari gagasan tersebut tersirat rezim fiskal, terutama pajak Indonesia, akan berdiri di antara dua aspek, yaitu memobilisasi penerimaan dan relaksasi ekonomi untuk meningkatkan daya saing. Pada saat yang sama, pemerintah dihadapkan pada proyeksi perekonomian yang belum terlalu baik, terlebih ada bayang-bayang resesi di beberapa negara. Efek ini telah terlihat dari melambatnya realisasi penerimaan pajak 2019.
InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) mewawancarai Dirjen Pajak Suryo Utomo belum lama ini untuk mencari tahu langkah dan terobosan yang akan dijalankan otoritas pajak. Suryo baru saja dilantik menjadi orang nomor satu di Ditjen Pajak (DJP) pada 1 November 2019 menggantikan Robert Pakpahan yang memasuki masa purnabakti. Berikut petikannya:
Anda ditunjuk menjadi Dirjen Pajak saat kondisi penerimaan sedang melambat cukup tajam. Apa yang ada di benak Anda waktu itu?
Ya saya hanya ada satu kata ‘Bismillah’. Itu saja. Bismillah saya jalan karena kita suka enggak suka, mau enggak mau, eksistensi pajak itu memang keniscayaan, harus ada. Apapun situasinya. Mau kondisi lagi down, lagi up, pajak adalah pajak.
Saya memandangnya sebagai tugas dan amanah. Sejak dulu, saya hidup di DJP ini hanya menjalankan amanah. Pada waktu dikasih amanah, maksimal saya laksanakan. Ya dengan bantuan teman-teman. Terus terang saja, saya enggak bisa sendirian.
Apa yang menjadi pesan atau amanah Presiden Jokowi untuk Anda?
Pesan Bapak Presiden kan yang namanya penerimaan negara harus dioptimalkan pada kondisi perekonomian seperti saat ini [lesu]. Ya mudah-mudahan [kondisi perekonomian] tahun depan sudah bagus. Selain mengoptimalkan penerimaan, kita juga perlu mendorong investasi. Itu skenario gede-nya. Ultimate goal-nya Pak Jokowi membawa Indonesia maju.
Untuk maju, semuanya perlu support dari yang namanya uang, butuh pajak. Nah, challenge kita kan itu karena 70% APBN berasal dari pajak. Sekarang bagaimana caranya? Optimalisasi penerimaan ini caranya dengan meningkatkan kepatuhan sukarela. Itu dilakukan melalui edukasi, layanan, hingga pengawasan. Itu frame-nya.
Untuk edukasi, apa yang dilakukan?
Memberikan edukasi itu bertujuan agar semua pihak memahami pajak sebagai bagian besar dari kebutuhan institusi negara. Makanya muncul ‘Pajak Bertutur’ yang tujuannya untuk jangka menengah—panjang dan harus dilakukan secara berkelanjutan. Challenge yang besar itu mengajarkan bagaimana mengajarkan dan menularkan budaya pajak itu generasi selanjutnya.
Bagaimana dari sisi pelayanan?
Selanjutnya, kita bicara kemudahan pelayanan. Karena memang dari beberapa research, memudahkan orang membayar pajak itu, termasuk ease of doing business, menjadi salah satu titik supaya cost of compliance-nya tereduksi. Makanya kita lakukan elektronifikasi segala macam, seperti unifikasi SPT [surat pemberitahuan].
Untuk pengawasan akan seperti apa?
Kita meningkatkan kepatuhan sukarela dengan segala macam data dan informasi yang kami punya. Kita coba clear-kan datanya agar betul-betul solid, baru kita deliver ke wajib pajak, minta untuk melakukan pembetulan [jika ada yang tidak sinkron]. Kita juga gunakan data pihak ketiga.
Dalam 5 tahun ke depan, Anda ingin punya legacy apa di DJP? Atau hanya akan meneruskan?
Tidak [hanya meneruskan]. Kalau legacy pasti terkait dengan cara kita membuat model kerja DJP, terlebih kita bicara reform. Legacy-nya apa sih dari reform? Pertama, nantinya, mudah-mudahan enggak mundur waktunya, kita punya basis informasi dari sistem core tax. Kalau core tax ini sudah pada tempatnya, ada requirement-nya. Artinya, database harus benar-benar solid dan valid ketika masuk dalam core tax.
Kedua, proses bisnis mengarah pada efisiensi. Pak Presiden Jokowi bilang organisasi itu harus efisien. Makanya, pada 2020, kita sudah mulai menyusun skenario untuk membuat KPP Madya baru. Jadi, sekarang di satu Kanwil kan cuma satu KPP Madya. Kalau kita simpulkan harus dibuat dua KPP Madya, saya akan buat dua KPP Madya di satu Kanwil itu. Jadi, kami akan reshaping organisasi.
Dengan demikian, irama kerja DJP itu benar-benar solid dan terkoordinasi. Core tax itu estimasinya pada 2023 mungkin implementasi pertama. Pada 2024 baru full implemented. Itu legacy-nya reform. Saya enggak perlu legacy-lah. Itu legacy-nya DJP yang mengalami transformasi sedemikian rupa. Saya hanya orang yang ada di dalam institusi itu.
Apa yang menjadi pertimbangan untuk menambah KPP Madya?
KPP Madya itu relatively pengawasannya lebih intensif karena wajib pajaknya tidak terlalu banyak. Kalau KPP Pratama itu wajib pajaknya biasanya ada puluhan atau ratusan ribu sehingga pengawasannya pasti enggak bakal bisa untuk seluruh wajib pajak. Dengan adanya reshaping organisasi ini, tujuannya paling tidak 80% dari total penerimaan pajak dengan baseline tahun ini bisa kita kelola dan awasi di KPP Madya. Sekarang porsinya 60%.
Nah, yang 20% ini kan berarti yang di luar KPP Madya. Untuk porsi itu, kita akan berdayakan KPP Pratama. KPP Pratama lebih mengarah pada model kewilayahan. Apakah betul yang di KPP Pratama itu kecil kontribusinya ke penerimaan pajak? Belum tentu juga. Ada tempat-tempat tertentu yang memang agak potensial. Nah, kita enggak menyisir total, tapi pakai prioritas dengan informasi yang sudah ada. Sumber daya di KPP Pratama ini kita gerakkan ke situ. Harapannya porsinya bisa bergerak naik, misalnya jadi 30%.
Sejalan dengan itu, antara pengawasan dan pemeriksaan nanti jalan bersama. Pengawasan menjadi lebih komprehensif karena analisis laporan keuangan dan segala macam sudah jadi satu, serta spesifik. Data dan informasi yang kita kelola itu bukan asal-asalan atau tiba-tiba ada.
Apa masalah utama di DJP terkait dengan upaya memenuhi penerimaan negara?
Hal yang sangat fundamental untuk bisa diperbaiki itu berangkat dari reform. Misalnya, proses bisnis. Ini most likely ke arah luar, bagaimana memudahkan orang melaksanakan kewajibannya. Kemudian, basis data dan IT [information technology] untuk memudahkan kita bekerja. Logikanya, semakin efisien kita bekerja, semakin banyak pekerjaan yang bisa kita lakukan.
Data dan informasi terintegrasi sehingga kita bisa merumuskan analisis yang lebih cepat. At least kita sudah memotong jumlah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Kemudian banyak pekerjaan lain yang sifatnya administratif, kita bisa pangkas sehingga sumber dayanya bisa kita letakkan di tempat lain, seperti untuk pengawasan kewilayahan tadi. Kita bicara how to make this institution much more efficient dalam bekerja.
Bagaimana menyeimbangkan kepentingan memobilisasi penerimaan dan meningkatkan daya saing?
Saya ambil jangkarnya di omnibus law yang didesain untuk mendorong peningkatan investasi. Contoh paling sederhana, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan. Ini artinya sebagian pajak yang harusnya dengan tarif lama itu dapat dikumpulkan untuk negara, dikembalikan untuk bisnis. Ini bertujuan untuk menggerakkan ekonomi.
Dari situ, basis pajak baru muncul. Ini juga berlaku untuk penurunan atau pembebasan tarif PPh dividen. Apalagi, untuk industri padat karya, tentu ada potensi peningkatan jumlah orang yang bekerja di tempat baru sehingga ada basis baru untuk PPh Pasal 21. Ujungnya, ada konsumsi yang akan meningkat sehingga berimbas positif untuk PPN.
Kemudian, bagaimana kita mendorong orang supaya mau patuh dengan mengurangi besaran sanksi. Sekarang, orang kalau mau membetulkan SPT bisa kena sanksi administrasi hingga 48%. Kita relaksasikan karena kalau betulin SPT kan menambah pajak. Selain itu, ada pula relaksasi kredit pajak masukan untuk PPN. Kita coba relaksasi supaya orang mau, enggak kucing-kucingan lagi.
Selain itu, penambahan basis dari e-commerce. Kita bisa letakkan marketplace sebagai pemungut PPN. Jadi, harapan yang ada dengan omnibus law ini, ekonomi bisa bergerak tapi di sisi pajaknya relatif terkompensasi.
Simak wawancara Dirjen Pajak Suryo Utomo selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi ke-41. Download majalah InsideTax di sini. (kaw)