ABDURRAHMAN WAHID:

'Kalau Saya Nakal, Boleh Dihukum'

Redaksi DDTCNews | Jumat, 18 September 2020 | 17:07 WIB
'Kalau Saya Nakal, Boleh Dihukum'

Abdurrahman Wahid. (Foto: proklamator.id)

SEJAK muda, ia hobi menonton film. Mulai dari Shane karya George Stevens (1953) yang dikutipnya dalam salah satu esainya, sampai Nagabonar karya M.T. Risyaf (1987) yang ia pilih sebagai pemenang Piala Citra 1987 saat menjadi Ketua Tim Juri Festival Film Indonesia.

Dia juga seorang pembaca yang tekun. Mulai dari novel Hemingway, Steinbeck, Faulkner, Tolstoy, Dostoevsky, Malraux, Kafka, Gide, lalu esai-esai Sayyid Qutb, Hassan Albana, Aristoteles, Marx, Plato, Lenin, Mao, Huizinga, Gasset, Romein, Durant, hingga puisi Pushkin, Allan Poe dan Donne.

Pada saat bersamaan, ia mendengarkan Simfoni No. 40 dan Eine Kleine Nachtmusik-nya Mozart, serta Simfoni No. 9 Beethoven. Juga petikan gitar Al Di Meola, John McLaughlin, Paco De Lucia, dan tarikan suara Umm Kulthum dalam Amal Hayaty atau Me and Bobby McGee-nya Janis Joplin.

Baca Juga:
Benjamin Franklin: Antara Pajak dan Kematian

Tapi ia juga analis sepakbola yang jeli. Ia menulis sejak Piala Dunia 1982. Pada Piala Eropa 1992, ia mengumpulkan 800-an halaman koran dan majalah sebagai bahan riset. Analisisnya tidak melulu taktik atau peluang pertandingan, karena ia mengaitkannya dengan politik dan kemanusiaan.

Pada dasarnya ia seorang pemikir. Ia bergulat di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan menulis untuk majalahnya, Prisma. Ia juga menyampaikan ceramah kesenian dan kebudayaan, hingga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta.

Lebih dari itu, ia adalah seorang kyai, ahli agama, pemimpin Nahdlatul Ulama, dan penyuka hal gaib yang akhirnya menjadi politisi, pendiri partai yang meraup 12,61% suara atau 51 kursi di DPR, tetapi bisa terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. Ia Abdurrahman Wahid (1940-2009).

Baca Juga:
'Belanda Tidak Punya Hak Lagi atas Indonesia'

Memang, tak mudah bagi kita untuk bisa meringkus Gus Dur, panggilan akrabnya, dalam sebuah definisi baku yang ketat dan kaku. Ia melintasi dan menabrak batas kebakuan berbagai definisi itu. Ia selalu bisa lolos dan berdiri di atas serangkaian definisi yang disematkan kepadanya.

“Ini contoh penafsiran ulang yang tuntas terhadap salah satu ajaran sosial Islam yang paling penting tapi sekaligus paling telantar, zakat,” tulisnya dalam pengantar Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (1991). Ini buku Masdar F. Mas’udi yang menyamakan pajak dengan zakat.

Pada masa pemerintahannya, ia menaruh perhatian pada pajak mulai dengan mencari sosok Dirjen Pajak yang berani memeriksa pajak mantan Presiden Soeharto dan para kroninya, tetapi sekaligus piawai mengumpulkan penerimaan. Pilihan itu kemudian jatuh ke Hadi Poernomo.

Baca Juga:
Apa yang Membuat Orang Jawa Begitu Miskin?

Pilihan yang tidak salah. Kita melihat mantan Presiden Soeharto dan para kroninya diperiksa, meski tak semua hasilnya signifikan. Namun, pada saat yang sama target pajak terpenuhi, meski ekonomi tumbuh di bawah 4%, dengan suasana ketidakpastian politik yang sangat kental.

“Kesadaran pajak di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan Asean. Ditjen Pajak perlu mengupayakan agar kesadaran itu dapat ditingkatkan. Tapi harus diupayakan agar DJP melakukan cara yang tepat,” katanya seusai menyerahkan surat pemberitahuan pajak, 29 Maret 2001.

Hari itu, di Kantor Pusat Ditjen Pajak bersama Menteri Keuangan Prijadi Praptosuharjo, Gus Dur kembali menekankan. “Saya sudah menunaikan kewajiban saya membayar pajak. Nanti biar dilihat bagaimana. Kalau saya nakal, saya juga boleh dihukum,” katanya seperti dilansir Tempo.

Baca Juga:
'Dana Pajak Ini untuk Meredam Dampak Ekonomi Pasar'

Presiden Wahid tentu tidak sedang melontarkan jokes. Ia serius. Tapi kita boleh bertanya. Adakah dalam sejarah, di negara manapun, kantor pajak berani memeriksa pajak presiden yang masih aktif? Rasanya belum ada. Jangankan presiden, pajak menteri keuangan saja tidak ada yang diperiksa.

Sejarah menunjukkan pemeriksaan pajak hanya dilakukan kepada presiden atau pejabat politik yang sudah tidak aktif. Sejarah juga menunjukkan bagaimana pemeriksaan pajak bisa jadi alat politik untuk menekan mantan pejabat yang punya kekuatan politik, atau sekadar memuaskan konstituen.

Pada titik inilah, pernyataan Gus Dur yang mempersilakan negara memeriksanya kalau pembayaran pajaknya tidak benar, mendapatkan konteksnya. Ia berpesan, kalau mantan Presiden Soeharto bisa diperiksa pajaknya, maka dirinya—tentu setelah lengser—bisa diperiksa. Gitu aja kok repot. (Bsi)


Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 13 Februari 2024 | 10:27 WIB RONALD REAGAN:

‘Kami Ingin Memangkas Pajak, Bukan Peluang’

Rabu, 11 Oktober 2023 | 10:02 WIB MOHAMMAD HATTA:

'Selama Terjajah Banyak Bercita-Cita, Setelah Merdeka Kehilangan Rupa'

Jumat, 14 Juli 2023 | 10:30 WIB RADIUS PRAWIRO:

'Wajib Pajak Hitung Sendiri Jumlah Pajak yang Harus Dibayar'

Senin, 03 Juli 2023 | 11:00 WIB GEORGE H.W. BUSH:

'Read My Lips, Tidak Ada Lagi Pajak Baru'

BERITA PILIHAN
Jumat, 29 Maret 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Beli Rumah Sangat Mewah di KEK Pariwisata Bebas PPh, Perlu SKB?

Jumat, 29 Maret 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jumlah Pemudik Melonjak Tahun ini, Jokowi Minta Warga Mudik Lebih Awal

Jumat, 29 Maret 2024 | 14:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Pengajuan Perubahan Kode KLU Wajib Pajak Bisa Online, Begini Caranya

Jumat, 29 Maret 2024 | 13:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu Pajak Air Tanah dalam UU HKPD?

Jumat, 29 Maret 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Perlakuan PPh atas Imbalan Sehubungan Pencapaian Syarat Tertentu

Jumat, 29 Maret 2024 | 10:30 WIB PERMENKOP UKM 2/2024

Disusun, Pedoman Soal Jasa Akuntan Publik dan KAP dalam Audit Koperasi