PERPAJAKAN INDONESIA

Ini Temuan dan Rekomendasi OECD untuk Indonesia

Kurniawan Agung Wicaksono
Rabu, 10 Oktober 2018 | 14.12 WIB
Ini Temuan dan Rekomendasi OECD untuk Indonesia

Tampilan depan Survei Ekonomi OECD Indonesia 2018. (DDTCNews)

JAKARTA, DDTCNews – Laporan Survei Ekonomi OECD Indonesia 2018 dirilis. Beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan perpajakan disampaikan dalam laporan tersebut.

Dalam laporan yang dirilis bersamaan dengan Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali tersebut, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menilai upaya peningkatan pendapatan negara, terutama pajak, masih menjadi tantangan utama fiskal.

Apalagi, penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih relatif rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Meskipun ada kenaikan pendaftaran sebagai wajib pajak (WP), Indonesia masih dihadapkan pada tantangan kepatuhan.

Setidaknya, ada lima kelompok temuan utama perpajakan – beserta rekomendasinya – yang disampaikan OECD.  Pertama, rendahnya penerimaan pajak yang berdampak pada terbatasnya belanja pemerintah di bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

Masih terkait dengan penerimaan, rencana pemutakhiran teknologi administrasi perpajakan akan meningkatkan kebutuhan pegawai berketrampilan tinggi. Selain itu, peraturan yang rumit dan kebijakan yang sering berubah menambah biaya kepatuhan.

Untuk temuan kelompok ini, OECD merekomendasikan adanya peningkatan investasi dalam administrasi perpajakan, terutama untuk kepegawaian, layanan elektronik, serta basis data. Selain itu, pemerintah diminta memperkuat pemantauan kepatuhan dengan teknologi informasi.

Pada saat yang bersamaan, OECD meminta agar pemerintah memperluas dan meningkatkan estimasi belanja perpajakan (tax expenditure). Laporan yang sudah mulai dirilis pada 2018, diharapkan dapat terus disampaikan ke publik setiap tahunnya.

Kedua, tingginya batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk penghasilan WP orang pribadi telah mengurangi basis pajak dan potensi penerimaan. Selain itu, berbagai jenis pendapatan yang berbeda-beda diperlakukan secara berbeda pula.

Atas temuan kelompok ini, OECD merekomendasikan agar pemerintah tidak menaikkan nilai PTKP bagi perorangan untuk memperbesar basis pajak. OECD juga meminta agar ada penurunan secara bertahap terhadap ambang batas pengenaan dua tingkatan tertinggi tarif. Berbagai tunjangan dan manfaat dari pemberi kerja juga seharusnya dimasukkan sebagai penghasilan kena pajak.

Ketiga, berbagai pengecualian dan tingginya ambang batas wajib daftar (sebagai pengusaha kena pajak/PKP) mengurangi efisiensi dan efektivitas pajak pertambahan nilai (PPN). Sektor-sektor seperti perhotelan, restoran, dan hiburan justru tidak dikenai pajak di level subnasional.

Terkait hal tersebut, OECD menganjurkan agar ada perluasan pengenaan PPN. Langkah ini bisa ditempuh dengan menghapus sebagian besar pengecualian, terutama bagi barang antara (intermediate goods).

OECD juga merekomendasikan agar pajak penjualan daerah diganti dengan PPN serta menurunkan ambang batas wajib daftar PPN (pengukuhan sebagai PKP). Sebagai kompensasi, pemerintah daerah boleh mengenakan pajak akomodasi.

Keempat, dibandingkan dengan negara lain, pajak lebih sedikit digunakan untuk menyasar capaian hasil di bidang kesehatan dan lingkungan hidup. Angka perokok laki-laki di Tanah Air masih menjadi salah satu yang terbanyak di dunia.

OECD menganjurkan agar pemerintah memperbesar dan mengharmonisasikan cukai tembakau untuk berbagai produk. Selain itu, penghapusan bertahap subsidi bahan bakar menjadi langkah pertama menuju penetapan harga energi yang lebih mencerminkan biaya sesungguhnya.

Kelima, pajak bumi dan bangunan (PBB) hanya menghasilkan penerimaan yang relatif kecil. Beberapa daerah menggunakan daftar tanah dan bangunan yang sudah lama tidak diperbarui. Banyak pula daerah yang tidak memiliki kapasitas untuk mengelola PBB.

Terhadap temuan ini, OECD merekomendasikan pelatihan dan bantuan bagi pemerintah daerah. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas basis data PBB, metode valuasi, dan administrasi perpajakan. Selain itu, OECD merekomendasikan kenaikan batas tarif PBB.

Menariknya, dalam laporan OECD ini mereferensi dua tulisan managing partner DDTC Darussalam sebagai berikut "Reformasi Pajak: Meningkatkan Penerimaan, Mengurangi Sengketa" dan "Menyoal Perluasan Wittholding Tax atas Penghasilan Usaha" (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.