ARAH KEBIJAKAN PAJAK

Ini 5 Poin Outlook Pajak di Tahun Politik

Redaksi DDTCNews
Jumat, 05 Januari 2018 | 11.45 WIB
Ini 5 Poin Outlook Pajak di Tahun Politik

JAKARTA, DDTCNews – Realisasi penerimaan pajak memang kembali meleset untuk tahun 2017. Namun, hal tersebut memberikan fondasi penting bagi pembenahan kinerja pajak di masa depan. Menyongsong  tahun 2018 yang kerap kali disebut dengan tahun politik, karena mesin-mesin politik sudah mulai dinyalakan untuk menyambut kontestasi pemilu di tahun 2019. Lantas bagaimana situasi pajak di tahun 2018, berikut kami sajikan ulasan Darussalam selaku Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC).

Dalam uraiannya setidaknya ada 5 poin penting yang harus dicermati pemerintah dalam urusan perpajakan di tahun ini. Faktor domestik, perkembangan teknologi dan faktor kebijakan internasional menjadi fokus utama pembahasan.

Poin pertama adalah imbauan agar pemerintah merevisi target penerimaan pajak melalui APBN Perubahan 2018. Koreksi diperlukan untuk menghindari risiko fiskal dan tekanan utang. Target sebesar Rp1.423,9 triliun itu ditakutkan menciptakan kebijakan pajak yang bersifat jangka pendek dengan tujuan menutupi shortfall semata. Hal ini didasari oleh data pertumbuhan penerimaan pajak yang berkisar di angka 6%-9% dari realisasi 2017.

Dengan target Rp1.423,9 triliun, berpotensi membuat target penerimaan pajak kembali tidak tercapai. Pasalnya berdasarkan laju pertumbuhan penerimaan, maka secara realistis setoran pajak tahun 2018 berada di kisaran Rp1.219,2 triliun hingga Rp1.242,1 triliun atau hanya 85,6%-87,2% dari target. Dengan estimasi itu, maka tren shortfall tetap berlanjut di tahun 2018 dan berdampak pada melebarnya defisit anggaran.

Poin kedua ialah melakukan reformasi pajak agar struktur penerimaan pajak menjadi optimal. Pada poin ini pemerintah harus jeli dalam meracik komposisi penerimaan pajak sehingga tidak didominasi oleh jenis pajak yang distortif terhadap ekonomi secara umum.

“Negara-negara Teluk telah mengimplementasikan PPN pada 2018. Selain karena memiliki efek distorsi yang rendah, PPN juga relatif lebih mudah untuk dipungut jika dibandingkan dengan PPh,” kata Darussalam.

Ketiga, interaksi ekonomi yang semakin tinggi antarnegara telah menciptakan tax spillovers. Artinya, kebijakan pajak suatu negara akan memiliki dampak baik secara langsung maupun tidak langsung. Reformasi pajak Amerika Serikat adalah contoh konkret bagaimana kebijakan negara lain dapat berimplikasi pada makroekonomi seperti nilai tukar hingga neraca pembayaran.

“Langkah AS akan meningkatkan intensitas kompetisi pajak secara global. Ditengah kekhawatiran ketidakpastian ekonomi global dan perebutan kue investasi, reformasi pajak AS bisa menjadi katalis apa yang disebut sebagai race to the bottom,” paparnya.  

Poin keempat, perkembangan ekonomi digital yang menciptakan keruwetan baru bagi sektor pajak. Keadilan dalam berbisnis dengan unit ekonomi konvensional dan tantangan akan penghindaran pajak menjadi dua isu sentral bagi entitas bisnis digital.

Perlu diwaspadai adalah terbukanya peluang penghindaran pajak terutama pada aktivitas ekonomi digital lintas yurisdiksi. Penghindaran pajak yang diakibatkan ekonomi digital telah mendorong aksi unilateral (sepihak) dari banyak negara seperti google tax (Inggris) dan web tax (Italia).

Terakhir, pentingnya mengembangkan paradigma kapatuhan kooperatif. Paradigma baru tersebut mensyaratkan adanya hubungan yang dibangun atas dasar transparansi, keterbukaan, saling percaya, dan saling memahami  antara wajib pajak, otoritas pajak dan konsultan pajak.

“Paradigma ini lahir karena adanya keinginan untuk merestorasi kontrak fiskal, penghormatan atas hak-hak wajib pajak dan prinsip demokrasi. Kepatuhan kooperatif memberikan manfaat bagi wajib pajak maupun otoritas pajak,” tutupnya. (Amu)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.