Prof. Lee Burns saat memberikan paparan dalam konferensi internasional bertajuk ‘Strengthening Strategic Administrative Reform Policy to Promote Competitiveness and Innovation in Industrial Revolution 4.0: Opportunities and Challenges’ di Auditorium Juwono Sudarsono Universitas Indonesia (UI), Rabu (30/10/2019).
DEPOK, DDTCNews – Hingga saat ini, OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS masih terus menyusun kerangka konsensus global untuk menjawab tantangan perpajakan yang timbul dari pekembangan pesat ekonomi digital.
Pakar pajak yang juga profesor dari University of Sydney, Lee Burns mengatakan langkah menuju konsensus global tersebut sudah dirilis OECD pada 9 Oktober 2019. Proposal tersebut dirilis untuk bisa mendapat tanggapan publik dalam waktu dekat ini.
"Unified Approach ini merupakan high level proposal yang disiapkan oleh sekretariat untuk konsultasi publik,” katanya di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI, Rabu (30/10/2019).
Lee menjelaskan isi dari proposal tersebut tidak berbeda jauh dari hasil interim report 2018 yang mengerucut kepada tiga pendekatan yakni user participation, marketing intangible, dan significant economic presence.
Ketiga pendekatan tersebut setidaknya mencakup empat perubahan dasar dalam kancah perpajakan internasional. Pertama, menemukan titik keseimbangan baru berupa realokasi hak pemajakan dari negara residen kepada negara sumber di mana penghasilan dan nilai tambah dihasilkan.
Kedua, merumuskan metode baru dalam membagi hak pemajakan yang tidak lagi berdasarkan kehadiran fisik di negara sumber. Ketiga, merumuskan norma baru yang akan mengganti prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm`s Length Principle) dalam penerapan pajak internasional.
Keempat, merumuskan konsensus global yang menjamin kesederhaaan penerapan, memberikan stabilitas sistem pajak internasional, dan meningkatkan kepastian pajak baik untuk otoritas dan juga pelaku usaha.
“Langkah menuju konsensus global menghadapi dua tantangan dasar. Pertama, soal mekanisme realokasi hak pemajakan. Kedua, soal mendapatkan kesepakatan di antara negara untuk melaksanakan konsensus tersebut,” paparnya.
Menurutnya, kedua aspek tersebut sama peliknya untuk diselesaikan pada musim semi tahun depan. Perubahan mendasar dari norma perpajakan internasional akan mengganggu status quo negara maju yang menjadi rumah dari perusahaan raksasa digital seperti Amazon dan Google.
Lee menilai sulit bagi Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Trump untuk sukarela membagi hak pemajakannya kepada negara sumber. Pasalnya, hampir seluruh perusahaan digital global berasal dari AS. Sehingga, realokasi hak pemajakan sedikit banyak akan mengurangi pendapatan AS dari entitas bisnis digitalnya yang menggurita di seluruh dunia.
“AS pasti akan bersikap kritis terhadap setiap perkembangan norma baru dalam perpajakan internasional,” paparnya.
Lee menuturkan konsensus global atas ekonomi digital akan mengubah lanskap perpajakan secara drastis. Oleh karena itu, unsur politik menjadi sangat kental dalam perumusan kebijakan karena akan memengaruhi kepentingan nasional banyak negara, baik negara berkembang maupun negara maju.
Bila langkah kerja sama dan kolaborasi yang diusung oleh OECD/G20 gagal mencapai kata sepakat tahun depan, dia memproyeksi akan marak aksi unilateral yang ditempuh. Hal ini akan menjadi norma baru dalam kancah perpajakan internasional di masa mendatang. (kaw)