Rahmat Muttaqin, Specialist of Transfer Pricing DDTC, di kampus WU Autria
AUSTRIA, DDTCNews - Konsep ekonomi digital yang dapat diartikan sebagai hasil dari proses transformatif yang dibawa oleh teknologi informasi dan komunikasi (OECD, 2015), berdampak pada meningkatnya digitalisasi model bisnis di seluruh industri. Hal ini juga berdampak pada kecenderungan konsumen saat ini untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang terintegrasi dengan model bisnis digital.
Perubahan ini dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang saling bersaing untuk membangun bisnis model yang terintegrasi dengan kehidupan konsumen, diantaranya adalah e-commerce. Sebagai contoh, dahulu, apabila konsumen ingin mendapatkan suatu barang maka konsumen tersebut akan datang ke toko. Namun saat ini, barang/jasa dapat diperoleh dari online marketplace, seperti Amazon, dan sebagainya.
E-commerce dapat diartikan sebagai transaksi komersial yang melibatkan instansi/organisasi maupun individu yang didasarkan pada pemrosesan dan transmisi data digital, termasuk teks, suara, dan gambar visual yang dilakukan melalui jaringan (seperti internet). E-commerce atau pasar digital ini memiliki beberapa contoh bisnis model diantaranya adalah online marketplace, cloud computing, periklanan, dan jasa pembayaran.
Masing-masing e-commerce memiliki kompleksitas dan keunikan tersendiri. Dalam konteks transfer pricing, hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan diantaranya adalah (i) bagaimana melakukan analisis transfer pricing terhadap model bisnis e-commerce? (ii) bagaimana memetakan rantai suplai? bagaimana menentukan penciptaan nilai (value creation) dari skema yang ada? serta (iii) bagaimana mengalokasikan profit yang sesuai dengan penciptaan nilai?
Secara garis besar, analisis transfer pricing terhadap model bisnis e-commerce dapat mengacu pada panduan atastransfer pricing yang saat ini tersedia, seperti OECD Transfer Pricing Guidelines 2017.
Tahapan analisis tersebut diantaranya adalah (i) Mengidentifikasi hubungan komersial atau finansial antara pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan kondisi dan keadaan yang relevan secara ekonomi sehingga transaksi hubungan istimewa dapat secara akurat digambarkan (accurately delineated); kemudian (ii) Membandingkan kondisi dan keadaan yang relevan secara ekonomi dari transaksi hubungan istimewa yang telah secara akurat digambarkan tersebut dengan transaksi independen yang sebanding.
Karakteristik dari masing-masing model bisnis e-commerce sangat unik dan beragam. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menganalisis model bisnis e-commerce adalah sebagai berikut:
pertama, mengidentifikasi people functions dan harta berwujud maupun tidak berwujud. People functionsyang dimaksud adalah personil maupun tenaga ahli yang menanggung risiko dalam pembentukan ataupun pengembangan harta tidak berwujud. Selain itu, harta berwujud maupun tidak berwujud perlu untuk diidentifikasi, sebagai contoh, lokasi server dan algoritma. Algoritma dalam bisnis model dunia digital dapat merepresentasikan harta tidak berwujud karena algoritma tersebut dapat menjadi sebuah platform yang dapat digunakan oleh konsumen.
kedua, analisis fungsional. Analisis fungsional terhadap masing-masing entitas dalam grup perlu untuk dilakukan agar kontribusi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa dapat diidentifikasi dengan jelas. Sebagai contoh, perlu diidentifikasi bagaimana e-procurement dan pengembangan atas platform dilakukan.
ketiga, memahami elemen dari rantai suplai virtual dan menentukan penciptaan nilai. Hal yang perlu digarisbawahi dalam memahami elemen dari rantai suplai dan menentukan penciptaan nilai adalah ambiguitas dalam ‘aktivitas apa yang menciptakan nilai’ dan ‘di mana nilai itu tercipta’. Setidaknya terdapat tiga contoh nilaidari e-commerce (Butani, 2018), yaitu.
keempat, pemilihan metode dan pencarian pembanding. Kompleksitas dari model bisnis e-commercemenimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemilihan metode transfer pricing dan pencarian pembanding. Konsep utama dari arm’s length principle pasca BEPS yaitu profit dipajaki di titik tempat nilai itu tercipta menjadi tantangan utama dalam mengalokasikan profit dari model bisnis e-commerce. Sebagai contoh, terdapat anak perusahaan yang berlokasi di negara A (negara dengan bahasa inggris sebagai bahasa utama) yang melakukan kegiatan pemasaran. Namun, kegiatan pemasaran ini juga berdampak signifikan pada negara lain dengan bahasa utama yang sama sehingga menghasilkan profit extra di negara tersebut. Konsep arm’s length principle pasca BEPS tentunya menjadi tidak relevan apabila menggunakan metode transaksi tradisional maupun metode laba bersih transaksional dalam kasus ini. Secara konsep, penggunaan metode residual profit split akan menjadi relevan (Pellefigue, 2015).
Digitalisasi model bisnis merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan dan mencakup seluruh aspek kehidupan dan negara/yurisdiksi, tidak terkecuali di Indonesia. Otoritas pajak maupun wajib pajak harus dapat mengambil posisi dan mempersiapkan diri atas perubahan model bisnis ini. Harus terdapat regulasi maupun panduan yang jelas terhadap pemajakan atas ekonomi digital (termasuk model bisnis e-commerce). Hal ini dikarenakan pemajakan atas ekonomi digital berangkat dari pertanyaan di mana, kapan, apa, dan bagaimana untuk memajaki transaksi atau profit dari adanya ekonomi digital. Rencana aksi BEPS lain, seperti rencana aksi 1 dan 7 menjadi relevan.
Sementara itu, dalam perspektif transfer pricing, pemetaan atas rantai suplai virtual dan identifikasi penciptaan nilai menjadi hal yang krusial dalam menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas model bisnis ekonomi digital (termasuk e-commerce).
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.