INGGRIS

Duh, 75% Penyedia Strategis ke Pemerintah Berbasis di Negara Tax Haven

Nora Galuh Candra Asmarani
Senin, 21 Oktober 2019 | 14.39 WIB
Duh, 75% Penyedia Strategis ke Pemerintah Berbasis di Negara Tax Haven

Ilustrasi.

LONDON, DDTCNews – Laporan dari Demos – lembaga think tank Inggris – mengungkapkan hampir tiga perempat dari pemasok atau penyedia strategis (strategic suppliers) ke pemerintah memiliki basis operasi di negara tax haven.

Berdasarkan hasil estimasi, pemasok strategis – organisasi yang menerima dana senilai 100 juta pound sterling (atau setara Rp1,8 triliun) dari pendapatan pemerintah – menghabiskan sekitar seperlima dari total pengeluaran pengadaan (procurement spend) milik pemerintah pusat.

“Sesat jika pemerintah terus memberi sejumlah besar dana dari pembayar pajak kepada perusahaan besar yang mempraktikkan penghindaran pajak bahkan dalam skala yang mengkhawatirkan,” kata Margaret Hodge, anggota parlemen dari Partai Buruh, Minggu (20/10/2019).

Secara lebih rinci, laporan itu menyebut 25 dari 34 pemasok strategis pemerintah beroperasi di daerah lepas pantai (offshore centres). Dari jumlah tersebut, 19 diantaranya beroperasi di yurisdiksi yang masuk dalam daftar hitam atau daftar abu-abu Uni Eropa.

Hal ini berarti perusahaan itu beroperasi di negara yang dianggap tidak memenuhi standar internasional UE terkait perilaku pajak yang baik. Padahal, menurut Demos, pengadaan publik adalah peluang terbaik yang dimiliki pemerintah untuk menunjukkan seperti apa bisnis yang baik di Inggris.

“Pengadaan pemerintah dapat menjadi kekuatan luar biasa untuk kebaikan Inggris, di luar sektor publik dan dalam perekonomian secara lebih luas,” kata Rose Lasko-Skinner, peneliti dari Demos.

Anggaran untuk pengadaan itu merupakan pengeluaran terbesar bagi pemerintah Inggris yang nilainya mencapai 284 miliar pound sterling (setara Rp5,1 kuadriliun). Selain itu, laporan itu juga menyebut perusahaan raksasa multinasional terus menekan kontribusi pajak mereka.

OECD memperkirakan sekitar 78 miliar pound sterling sampai dengan 186 miliar pound sterling (setara Rp3,3 kuadriliun) dari pendapatan global hilang setiap tahunnya akibat praktik base erosion and profit shifting (BEPS) yang dilakukan perusahaan multinasional.

Selain itu, anggota partai Buruh Lord Haskel berujar pemanfaatan yang agresif atas fasilitas dari negara tax haven dapat mendistorsi persaingan usaha.

“Sudah terlalu lama perusahaan digital global gagal membayar bagian pajak secara adil. Bahkan, mereka dihadiahi kontrak dari pemerintah, yang membuat perusahaan Inggris berada pada posisi yang tidak menguntungkan dalam persaingan,” ungkapnya, seperti dilansir The Guardian. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.