DIREKTUR KAPASITAS DAN PELAKSANAAN TRANSFER BHIMANTARA WIDYAJALA:

'Dengan Data Pihak Ketiga, Pemda Bisa Tahu Omzet WP Sesungguhnya'

Muhamad Wildan
Selasa, 03 Januari 2023 | 12.30 WIB
'Dengan Data Pihak Ketiga, Pemda Bisa Tahu Omzet WP Sesungguhnya'

IMPLEMENTASI UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) tak hanya menyodorkan pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah. Pemerintah pusat pun, punya tugas-tugas yang perlu dikerjakan sepanjang tahun ini. 

Mengacu pada ketentuan yang tertuang dalam UU HKPD, pemerintah daerah perlu segera menyusun perda baru tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebelum 5 Januari 2024. Karenanya, pemerintah pusat harus mengambil langkah cepat untuk mendorong, atau mendesak, pemda agar menaati ketentuan yang ada. Kalau pemerintah pusat tidak acuh, pemerintah daerah bisa-bisa ikut abai atas aturan baru yang ada.

Lantas apa saja langkah pemerintah pusat agar ketentuan-ketentuan baru dalam UU HKPD bisa dijalankan oleh pemerintah daerah dengan baik? Sejauh mana implementasi UU HKPD bisa mengerek angka rasio pajak dan retribusi daerah? 

DDTCNews berkesempatan mewawancarai Direktur Kapasitas dan Pelaksanaan Transfer Bhimantara Widyajala. Bhimantara juga membeberkan perkembangan terkini mengenai pertukaran data yang selama ini sudah dijalankan bersama dengan Ditjen Pajak (DJP) dan ratusan pemerintah daerah. Berikut kutipan selengkapnya:

Bagaimana implementasi kerja sama pertukaran data antara DJP, DJPK, dan Pemda sejauh ini?
Kegiatan perjanjian kerja sama (PKS) mulai dilaksanakan sejak 2019. Hingga saat ini, telah dilakukan penandatanganan PKS dengan 254 Pemda melalui 4 tahap perluasan. Pada tahap 1, penandatanganan dilakukan dengan 7 pemda (piloting) pada 16 Juli 2019.

Pada 26 Agustus 2019, penandatanganan tahap II dilakukan dengan 78 pemda. Lalu, penandatanganan pada tahap III dilakukan dengan 83 pemda pada 21 April 2021. Kemudian, penandatanganan tahap IV dilakukan pada 15 september 2022 dengan 86 pemda.

Sebagai informasi, lingkup inti kegiatan dari PKS adalah pertukaran/pemanfaatan data/informasi perpajakan dan pengawasan bersama. Sementara itu, lingkup kegiatan pendukung (supporting) antara lain dukungan peningkatan kapasitas aparat perpajakan.

Secara umum, untuk tahap I s.d III, pemda dan DJP telah melakukan pertukaran data perpajakan yang lalu dimanfaatkan untuk menguji tingkat kepatuhan wajib pajak dan tambahan potensi pajak, baik dari sisi pemda maupun DJP, melalui analisis bersama.

Contoh, wajib pajak pelaku usaha restoran atau hotel melaksanakan kewajiban perpajakannya kepada DJP (PPh atau PPN) dan kepada Pemda (pajak restoran atau pajak hotel) di antaranya melaporkan dasar pengenaan pajak berupa omzet.

Apabila data omzet yang dilaporkan ke pusat dan ke pemda tersebut dibandingkan maka dapat dilihat kepatuhan wajib pajak dan apakah terdapat selisih dari sisi pajak pusat atau dari sisi pajak daerah yang dapat menjadi potensi penagihan kurang bayar pajak.

Dalam PKS tersebut, kami juga ikut mendukung peningkatan kapasitas aparat perpajakan daerah. Sebagian besar pemda telah mengikuti kegiatan bimbingan teknis perpajakan daerah yang diselenggarakan DJPK, meliputi kelas pemeriksaan, penagihan, dan penggalian potensi pajak daerah, serta penilaian PBB-P2.

Sementara itu, pelaksanaan PKS dengan pemda pada tahap IV telah meliputi penyusunan rencana kerja dan pembentukan tim kerja bersama, pelaksanaan gelar data dan penyusunan daftar sasaran pengawasan bersama (DSPB), serta penyampaian surat permintaan izin pembukaan data wajib pajak kepada menteri keuangan.

Realisasi tambahan penerimaan dari pertukaran data dengan pusat hanya Rp64,68 miliar, jauh dari angka potensi Rp901 miliar, apa penyebabnya?
Jadi, nilai tambahan potensi dan tambahan realisasi pajak daerah dari hasil pelaksanaan PKS yang kami catat, sebenarnya merupakan nilai yang direkapitulasi berdasarkan nilai yang dilaporkan oleh pemda kepada DJPK.

Mengingat DJPK tidak masuk secara langsung dalam detail data per wajib pajak yang merupakan kewenangan fiskus (terkait dengan ketentuan kerahasiaan data) maka DJPK melakukan konfirmasi kepada pemda secara bertahap melalui kegiatan pendampingan dan monev.

Terkait nilai tambahan potensi Rp901 miliar kami sampaikan klarifikasi nilai tambahan potensi seharusnya Rp313,58 miliar sesuai update konfirmasi kepada pemda.

Terdapat beberapa kendala yang dihadapi pemda dalam mengoptimalisasi pelaksanaan PKS. Pertama, terdapat kendala koordinasi antarpihak, baik karena pandemi Covid-19 maupun kepadatan agenda masing-masing pihak.

Kedua, dinamika mutasi pegawai di sebagian pemda yang cukup dinamis sehingga di beberapa kasus, informasi/proses bisnis terkait dengan PKS dari PIC sebelumnya tidak tersampaikan dengan baik kepada PIC yang baru.

Ketiga, berdasarkan assesment pemda sendiri, ternyata masih perlu penguatan kapasitas pemda dalam pemeriksaan dan penagihan pajak daerah. Keempat, terdapat kasus wajib pajak yang ditindaklanjuti ternyata belum mampu membayar pajak terutang atau tidak dapat dilacak keberadaannya.

Kelima, masih terdapat kendala matching data antara data pajak pusat dan pajak daerah. Sebagai contoh, terdapat kasus pemda meregistrasi wajib pajak berdasarkan nama restoran, sedangkan DJP meregistrasi wajib pajak berdasarkan nama pemilik usaha.

Alhasil, terdapat kesulitan menyandingkan data dan memastikan wajib pajak yang sama. Untuk itu, DJPK dan DJP melakukan berbagai upaya untuk mengatasi persoalan itu antara lain menginisiasi inisiasi koordinasi rutin antarpihak, khususnya antara Kanwil DJP dengan pemda.

Kemudian, memberikan sarana dan kemudahan bagi PIC pemda untuk mengakses informasi terkait dengan PKS. Lalu, mendorong penggunaan NIK dalam struktur data perpajakan yang dipertukarkan untuk memudahkan matching data pajak pusat dan daerah.

Kami juga mendorong pemda mengoptimalkan permintaan data perpajakan ke DJP, pemenuhan kewajiban penyampaian data ke DJP, dan mengikuti kegiatan bimbingan teknis perpajakan daerah, baik yang diselenggarakan oleh DJPK maupun DJP.

Selain itu, DJPK dan DJP juga melaksanakan asistensi, pendampingan, dan monev pelaksanaan PKS.

Terkait dengan RPP Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (KUPDRD), seperti apa progresnya?
Penyusunan RPP KUPDRD sebagai peraturan pelaksanaan dari UU HKPD telah menyelesaikan tahapan pembahasan antar anggota Panitia Antar-Kementerian (PAK) pada pekan kedua bulan Oktober 2022.

Lalu, draf RPP atas hasil PAK tersebut telah dilakukan konsultasi publik pada tanggal 8-22 November 2022. Selain itu, telah dimulai juga proses pengharmonisasian RPP KUPDRD yang diselenggarakan oleh Kemenkumham berdasarkan permohonan menteri keuangan.

Kemudian, hasil pengharmonisasian tersebut akan menjadi dasar permohonan penetapan RPP kepada presiden melalui Sekretariat Negara.

Yang pasti, kami bersama kementerian/lembaga yang terlibat dalam panitia antarkementerian (PAK) berkomitmen untuk mengakselerasi penyusunan/pembahasan RPP KUPDRD sehingga draf tersebut dapat ditetapkan segera menjadi PP.

Apa saja kegiatan DJPK dalam mendorong pemda menyelesaikan perda pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) sebelum 5 Januari 2024?
Kami bersinergi dengan Kemendagri secara konsisten mendorong pemda dalam upaya percepatan penyusunan perda dan mengawal Perda PDRD tersebut dapat ditetapkan sebelum 5 Januari 2024 melalui upaya percepatan evaluasi perda dan Raperda PDRD sesuai UU HKPD.

Nanti, diseminasi PP KUPDRD dan asistensi kepada pemda akan dilaksanakan sehingga Perda PDRD yang disusun dapat selaras dengan pengaturan yang dimuat dalam UU HKPD dan RPP KUPDRD serta dapat ditetapkan secara tepat waktu.

Apa saja masukan yang banyak diberikan stakeholder saat konsultasi publik RPP KUPDRD?
Terdapat beberapa masukan atau concern dari publik pada saat konsultasi publik. Pertama, penjelasan besaran sanksi administratif berupa bunga yang ditetapkan oleh menteri keuangan beserta tata cara penghitungannya;

Kedua, penjelasan mengenai implementasi opsen pajak kendaraan bermotor (PKB), opsen bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), dan opsen pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB).

Ketiga, beberapa detail/teknis implementasi ketentuan formil lainnya, khususnya yang terkait dengan penyelarasan dengan KUP pajak pusat.

Seperti apa bentuk sinergi pemda dalam implementasi opsen?
Sebagaimana diatur dalam Pasal 112 RPP KUPDRD, pemerintah provinsi melibatkan pemerintah kabupaten/kota dalam optimalisasi penerimaan opsen PKB dan opsen BBNKB.

Sebaliknya, pemerintah kabupaten/kota juga melibatkan pemerintah provinsi dalam optimalisasi penerimaan opsen pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB).

Ketentuan lebih lanjut terkait bentuk sinergi yang akan dilakukan merupakan diskresi pemerintah daerah yang akan diatur dalam perkada. Sebagai contoh sinergi yang dapat dilakukan mulai dari pendaftaran, pendataan bersama, penagihan bersama, dan lain sebagainya.

RPP KUPDRD memberikan ruang pemda untuk meminta data kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik, menurut Anda?
Ketentuan kebijakan tersebut disusun untuk optimalisasi penerimaan pajak daerah. Namun, tidak hanya untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman, tetapi juga jenis pajak daerah lainnya.

Contoh, data yang diminta dari pihak ketiga dapat berupa data transaksi penjualan makanan/minuman dari aplikasi ojek online dan sejenisnya atau data transaksi penyewaan kamar hotel melalui aplikasi akomodasi dan sejenisnya.

Harapannya, dengan adanya data pihak ketiga tersebut, daerah memiliki data pembanding untuk mengetahui omzet sesungguhnya atas transaksi yang merupakan objek pajak daerah yang dilakukan melalui sarana komunikasi elektronik.

Apakah UU HKPD dapat mengerek rasio PDRD yang selama ini berkutat pada 1,2% hingga 1,4%? 
Salah satu pilar UU HKPD ialah penguatan local taxing power dengan tetap memperhatikan iklim kemudahan berusaha dan berinvestasi. Strateginya, mengurangi biaya administrasi pemungutan, memperluas basis pajak, dan penguatan sinergi antarlevel pemerintahan.

Strategi mengurangi biaya administrasi pemungutan dilakukan antara lain melalui penyederhanaan (restrukturisasi) jenis pajak daerah, utamanya dengan mengintegrasikan jenis pajak daerah yang berbasis konsumsi, menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).

Kemudian, strategi perluasan basis pajak di antaranya melalui penyesuaian batas atas tarif PBB-P2 yang semula 0,3% menjadi 0,5%. Penyesuaian juga turut menyasar assessment ratio dalam pengenaan PBB-P2, yaitu sebesar 20% hingga 100% dari NJOP.

Dengan assessment ratio tersebut, diharapkan pemda terdorong untuk memutakhirkan NJOP secara periodik agar sesuai/mendekati nilai riil/nilai pasar dengan tetap memberikan ruang bagi pemda untuk menyesuaikan kemampuan membayar wajib pajak.

Selain itu, objek pajak daerah juga diperluas. Jasa valet parkir, objek rekreasi, dan sarana prasarana olahraga yang selama ini menjadi objek PPN, kini menjadi objek pajak daerah. Harapannya ini juga dapat menambah sumber penerimaan pajak daerah.

Hal yang tidak kalah penting, ialah penguatan sinergi antar level pemerintahan antara lain melalui penerapan opsen PKB, opsen BBNKB, dan opsen MBLB yang memerlukan sinergi antara provinsi dan kabupaten/kota.

Tak ketinggalan, rangkaian kebijakan baru tersebut jika dibarengi dengan komitmen tiap-tiap daerah untuk meningkatkan kualitas pemungutan dan meyakini mampu meningkatkan penerimaan pajak daerah dan retribusi (PDRD) secara signifikan ketimbang sebelumnya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.