PENERIMAAN PERPAJAKAN

Susutnya Kontribusi Kepabeanan atas Impor pada Penerimaan Perpajakan

Dian Kurniati
Rabu, 09 April 2025 | 16.30 WIB
Susutnya Kontribusi Kepabeanan atas Impor pada Penerimaan Perpajakan

Ilustrasi.

KINERJA atas setiap jenis penerimaan perpajakan biasanya akan sejalan dengan sistem perekonomian yang berlaku pada setiap zaman.

Ketika negara di dunia masih banyak yang menerapkan kebijakan proteksionisme, penerimaan bea masuk menjadi lebih besar. Sebaliknya, penerimaan bea masuk akan mengecil ketika dunia mulai menerapkan sistem perdagangan bebas.

Shome (2014) menjelaskan bea masuk pada awalnya diterapkan untuk melindungi industri di dalam negeri dari gempuran barang impor. Melalui pengenaan bea masuk, produk dari industri domestik diharapkan mampu bersaing dengan barang-barang impor.

World Bank telah menyajikan data mengenai kontribusi bea masuk dan pungutan impor lainnya terhadap penerimaan perpajakan di 266 negara. Sejak dicatat pada 1972, tren kontribusi bea masuk dan pungutan impor lainnya terhadap penerimaan perpajakan telah mengalami penurunan signifikan.

Pada 1972, kontribusi bea masuk dan pungutan impor lainnya terhadap penerimaan perpajakan mencapai 15,79%. Angka ini sempat naik pada periode 1955 hingga mencapai puncaknya sebesar 22,6% pada 1990 seiring meningkatnya tindakan proteksionisme di negara-negara industri maju.

Setelahnya, kontribusi bea masuk dan pungutan impor lainnya terhadap penerimaan perpajakan terus mengalami penurunan hingga menjadi 6,7% pada 2022.

Penurunan kontribusi bea masuk dan pungutan impor lainnya terhadap penerimaan perpajakan tidak terlepas dari perubahan sistem ekonomi global menuju perdagangan bebas. Melalui General Agreement on Tariff and Trade (GATT), hambatan perdagangan internasional dikurangi, seperti tarif bea masuk dan kuota, untuk mendorong perdagangan bebas.

Kemudian, World Trade Organization (WTO) juga berupaya memfasilitasi perdagangan melalui pengurangan/penghapusan tarif serta penghapusan hambatan nontarif.

Sejak saat itu, banyak negara mulai mengurangi tarif bea masuk, terutama negara maju. Misal di Norwegia, kontribusi bea masuk dan pungutan impor lainnya terhadap penerimaan perpajakan telah susut dari 2,09% pada 1972 menjadi 0,21% pada 2022.

Kontribusi bea masuk dan pungutan impor lainnya terhadap penerimaan perpajakan di Prancis bahkan nyaris 0% pada 2022, yakni 0,006%. Pada 50 tahun sebelumnya, kontribusi pungutan impor lainnya terhadap penerimaan perpajakan di negara ini adalah 0,57%.

Di sisi lain, terdapat negara dengan kontribusi bea masuk dan pungutan impor lainnya terhadap penerimaan perpajakan yang masih besar meskipun sudah menurun dalam beberapa tahun terakhir. Kebanyakan adalah negara berkembang seperti Botswana dan Kepulauan Solomon yang mencapai masing-masing 28,03% dan 24,79% pada 2022.

Bagi negara-negara berkembang, bea masuk bahkan tidak hanya berperan untuk melindungi perekonomian domestik, tetapi juga sumber penerimaan yang dapat diandalkan. Hal itu terjadi karena sistem pajak di negara-negara berkembang memiliki elastisitas yang rendah mengingat basisnya juga sempit.

Mahdavi (2008) pun menyebut sektor perdagangan luar negeri dalam ekonomi tradisional merupakan basis yang lebih mudah dikenakan pajak. Cukup dengan memantau barang impor yang tiba ke pelabuhan, suatu negara dapat mengumpulkan bea masuk dengan biaya administrasi yang relatif rendah.

Namun demikian, data kontribusi bea masuk dan pungutan impor lainnya terhadap penerimaan perpajakan di Amerika Serikat (AS) menunjukkan tren berbeda. Kontribusi bea masuk dan pungutan impor lainnya terhadap penerimaan perpajakan di negara ini tercatat sebesar 2,22% pada 1972 dan naik menjadi 3,26% pada 2022, walaupun pada perjalanannya sempat turun menjadi 1,5%.

Di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, AS kini juga kembali menggunakan instrumen bea masuk untuk melindungi perekonomiannya. Sejak Trump dilantik, AS telah mengenakan bea masuk yang lebih tinggi untuk beberapa barang seperti kendaraan bermotor serta alumunium dan baja.

Selain itu, AS juga mengenakan bea masuk resiprokal terhadap barang impor dari banyak negara. Makin tinggi defisit neraca dagang AS terhadap negara tersebut, makin tinggi pula bea masuk resiprokal yang diterapkan.

White House sempat memperkirakan kebijakan bea masuk Trump akan menghasilkan penerimaan senilai US$6 triliun dalam 1 dekade berikutnya. Bagi Trump, bea masuk sebetulnya tidak hanya untuk kepentingan ekonomi tetapi juga instrumen yang mendukung kebijakan domestik. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.