RABU (21/4/2021) lalu, Ditjen Pajak (DJP) menandatangani perjanjian kerja sama dengan Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) dan 84 pemerintah daerah. Perjanjian itu terkait dengan optimalisasi pemungutan pajak pusat dan pajak daerah. Ini merupakan perjanjian susulan atau tahap III.
Perjanjian tahap I sudah diteken DJP dan DJPK dengan 7 pemda pada 16 Juli 2019. Lebih dari setahun kemudian, perjanjian itu disusul dengan perjanjian tahap II pada 26 Agustus 2020 dengan 78 pemda. Totalnya kini 169 pemda dari keseluruhan 548 pemda, alias masih kurang 379 pemda.
Melalui perjanjian itu, DJP akan menerima sumber data pengawasan antara lain data kepemilikan dan omzet usaha, izin mendirikan bangunan, usaha pariwisata, usaha pertambangan, perikanan dan perkebunan. Sebaliknya, pemda akan menerima data DJP untuk kepentingan pengawasan daerah.
Menurut Dirjen Pajak Suryo Utomo, pengumpulan penerimaan negara tidak dapat dilakukan satu instansi semata. “Karena itu, sinergi antara pemerintah pusat dan pemda diperlukan karena masing-masing pihak memiliki tujuan yang sama yakni mengumpulkan penerimaan,” katanya.
Apa yang dilakukan DJP ini bukan kali pertama. Sekitar 17 tahun silam, DJP juga menandatangani perjanjian serupa dengan pemda. Ada 94 pemda saat itu, yakni 30 pemerintah provinsi, dan sisanya 64 pemerintah kabupaten/kota.
Pola perjanjian saat itu dipakai karena belum ada Pasal 35A UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pasal tersebut mewajibkan semua pihak untuk menyerahkan data dan informasi perpajakan kepada DJP, dengan ancaman pidana dan denda.
Kini, setelah ada Pasal 35A UU KUP, ada pula Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi UU. Pasal ini mewajibkan bank dan lembaga jasa keuangan lain menyampaikan laporan ke DJP.
Sejak dahulu, DJP memang membutuhkan banyak sinergi. Dari sinergi itulah DJP bisa memperoleh data dan informasi perpajakan yang dibutuhkan untuk mengawasi dan mengamankan penerimaan, baik berupa koreksi Surat Pemberitahuan (SPT) atau masuk ke tindakan pemeriksaan.
Dengan kata lain, sinergi dengan pemda itu berbanding lurus dengan upaya untuk meningkatkan sistem kepatuhan perpajakan. Sebaliknya bagi pemda, sinergi itu juga memperkuat basis data pajak daerah, sehingga pendapatan asli daerah (PAD) bisa dioptimalkan.
Tentu, ada data yang tidak bisa dipertukarkan dalam sinergi ini. Misalnya data SPT yang rahasia, tetap tidak akan bisa dibuka kecuali ada perintah pengadilan. Namun, harus dikatakan, dalam perjanjian ini kedua belah pihak sama-sama diuntungkan.
DJP akan menyerap data di pemda sehingga kepatuhan bisa diawasi. Demikian pula pemda. Kalau pertukaran data ini efektif, bisa ditindaklanjuti dan menambah penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi misalnya, dana bagi hasil PPh yang diterima pemda tentu akan lebih besar.
Untuk itu, perlu diperhatikan sistem manajemen dan pengolahan data. Hal ini termasuk format data yang seragam sekaligus periodenya. Sistem yang tepat menjadi kunci kebermanfaatan pertukaran data ini. Jangan sampai, tujuan baik tidak bisa terwujud gara-gara persoalan teknis semata.
Kita berharap perjanjian itu menjadi awal terbentuknya kembali pusat data pajak, yang menyatukan data kependudukan dan keuangan atau single identity number (SIN). Sebab dengan SIN itulah DJP dapat mengamankan penerimaan sekaligus menyeimbangkan sistem self-assessment. Semoga.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.