JAKARTA, DDTCNews – Bank Indonesia memproyeksi pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun ini tidak akan lebih dari 5,2%, lebih rendah dari asumsi dalam APBN 2018 sebesar 5,4%.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan meningkatnya ketidakpastian ekonomi secara global telah memberi tekanan pada ekonomi domestik. Salah satu tekanan yang terlihat nyata adalah depresiasi nilai tukar rupiah.
"Ekonomi kita tahun ini diperkirakan bergerak antara 5,0% hingga 5,4% tahun ini. Kemungkinan ya [realisasinya] diperkirakan sedikit di bawah 5,2%,” ujarnya di Kompleks Bank Indonesia, Jumat (28/9/2018).
Kendati demikian, menurutnya, proyeksi 5,2% belum menunjukan kapasitas ekonomi nasional secara utuh. Dengan kata lain, masih ada ruang potensi untuk meningkatkan angka laju pertumbuhan ekonomi.
Perry pun memaparkan ada dua metode untuk menghitung kapasitas ekonomi, yakni melalui filtering dan agregat output produksi. Dengan metode filtering, ekonomi Indonesia bisa tumbuh mencapai 5,6%. Sementara, dengan metode agregat output produksi nasional, perekonomian Indonesia bisa tumbuh hingga 6%.
“Jadi 5,2% ini masih di bawah pertumbuhan yang potensialnya. Meskipun permintaan naik, tapi kapasitasnya produksinya itu masih mencukupi. Sehingga, ini mengapa kenaikan permintaan tidak menimbulkan tekanan harga,” jelas Perry.
Seperti diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 26-27 September 2018 memutuskan kenaikan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps dari 5,50% menjadi 5,75%. Suku bunga Deposit Facility dan suku bunga Lending Facility juga naik 25 bps menjadi masing-masing 5,00% dan 6,50%.
Dalam hasil RDG BI tersebut, Perry menuturkan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih diproyeksi sesuai perkiraan. Penopang utama laju produk domestik bruto (PDB) masih pada konsumsi rumah tangga. Apalagi, ada momentum pemilihan kepala daerah. (kaw)