Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai pemerintah masih perlu menyempurnakan laporan belanja perpajakan.
BPK mencatat, laporan belanja perpajakan yang disajikan pemerintah masih berupa estimasi belanja pajak pada masa lampau (backward estimate). Hal tersebut, menurut BPK, belum dapat menjadi dasar pengendalian belanja pajak pada masa yang akan datang.
"Pemerintah belum menetapkan target jumlah dan batasan (ceiling) atas belanja perpajakan dalam dokumen anggaran [UU APBN] sehingga belum terdapat pengendalian atas penetapan target jumlah dan batas belanja perpajakan," tulis BPK dalam Laporan Hasil Reviu (LHR) Pelaksanaan Transparansi Fiskal 2021, dikutip Senin (20/6/2022).
BPK menilai pemerintah masih belum memiliki upaya untuk mengendalikan belanja perpajakan agar lebih tepat sasaran. Pemerintah juga disebut belum melakukan penilaian atas efisiensi dan efektivitas kebijakan belanja perpajakan.
BPK memandang pengendalian dan evaluasi merupakan bagian yang lazim disajikan oleh negara-negara yang sudah menyusun laporan belanja perpajakan sebelum Indonesia.
"Pengendalian dan evaluasi juga penting untuk dilakukan karena tujuan dari belanja perpajakan adalah bukan sekadar menyajikan estimasi nilai pajak yang tidak terpungut tetapi menilai dampak yang berhasil ditimbulkan dan kebijakan yang tepat untuk mengatasi dampak tersebut," tulis BPK.
Tak hanya itu, BPK juga meminta pemerintah untuk memperhatikan temuan pada LKPP 2021 mengenai belanja perpajakan berupa insentif pajak tahun 2021 yang tidak memadai dan belum sesuai ketentuan.
Terlepas dari permasalahan-permasalahan di atas, BPK memandang transparansi pemerintah dalam hal cakupan belanja pajak berada pada level Good.
Untuk diketahui, pada 2020 tercatat belanja perpajakan mencapai Rp234,83 triliun atau 1,52% dari PDB. Realisasi belanja PPN tercatat mencapai Rp140,45 triliun, sedangkan belanja PPh hanya senilai Rp80,6 triliun. Adapun realisasi belanja bea masuk dan cukai senilai Rp13,73 triliun. (sap)