Sejumlah kendaraan melintas dengan latar gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (14/5/2022). Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2022 mencapai 5,01 persen secara year on year (yoy). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menilai perubahan ekonomi makro dapat memberikan pengaruh terhadap penerimaan perpajakan.
Melalui dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2023, pemerintah memperkirakan tingkat pengangguran pada 2023 akan semakin berkurang seiring dengan perubahan kebijakan dari pandemi Covid-19 menjadi endemi.
Kondisi itu diharapkan berdampak positif terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi. Meski begitu, penerimaan dari sektor PPh tetap perlu menjadi perhatian pemerintah.
"Kebijakan dalam memitigasi risiko penerimaan negara dari sektor PPh orang pribadi perlu dilakukan secara holistik dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan," tulis pemerintah dalam dokumen KEM-PPKF 2023, dikutip pada Sabtu (21/5/2022).
Dokumen tersebut menyatakan pemulihan ekonomi pada 2023 diprediksi lebih baik dibandingkan dengan tahun ini, sejalan dengan pandemi yang berangsur terkendali. Namun, masih terdapat tantangan yang cukup tinggi akibat ketidakpastian global, khususnya dampak konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
Dalam kondisi tersebut, pemerintah perlu menyiapkan langkah-langkah dalam menghadapi tekanan pada penerimaan pajak, khususnya PPh badan dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu, tren shifting konsumsi menjadi berbasis digital semakin kuat pascapandemi dan berpotensi berlanjut di tahun 2023.
Perubahan gaya konsumsi itu di satu sisi berdampak positif terhadap efisiensi perekonomian, tetapi di sisi lain dapat menyebabkan peningkatan shadow economy.
"Dengan kondisi saat ini, terdapat risiko kehilangan basis pajak (tax base) atau wajib pajak khususnya PPN dan PPh badan," bunyi dokumen KEM-PPKF 2023.
Sumber risiko lain juga berasal dari fluktuasi harga minyak bumi. Proyeksi pemulihan perekonomian global pada 2023 bakal mendorong kenaikan harga minyak global sehingga pemerintah tetap perlu memperhatikan dinamika konflik geopolitik, perdagangan, dan ekonomi di beberapa kawasan yang dapat menekan kembali harga minyak global.
Selain itu, terdapat risiko jangka panjang di antaranya akibat arah kebijakan efisiensi penggunaan energi fosil di berbagai negara. Risiko penurunan demand global terhadap minyak bumi terjadi secara perlahan (low velocity), bakal memberikan dampak terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA) dalam jangka panjang.
Sementara dari sisi suplai migas, penurunan produksi migas di Indonesia secara gradual dalam beberapa tahun terakhir juga perlu menjadi faktor yang diperhatikan dalam penetapan target PNBP migas.
Terakhir, ada risiko yang berasal dari sektor keuangan global. Perbaikan kondisi makro ekonomi di negara maju akan diikuti dengan langkah normalisasi suku bunga bank sentral, khususnya The Fed, sehingga berpotensi meningkatkan yield US Treasury.
"Stabilitas fundamental ekonomi Indonesia disertai dengan peningkatan investasi dan neraca perdagangan yang sehat merupakan kunci kebijakan pemerintah di tahun 2023," bunyi dokumen tersebut. (sap)