Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo dalam acara sosialisasi UU HPP kepada wajib pajak Kanwil DJP Jawa Timur III dan Kanwil DJP Nusa Tenggara, Jumat (21/1/2022).
MALANG, DDTCNews - Pengurangan pengecualian PPN yang ditetapkan melalui UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dinilai dapat berfungsi menarik sektor informal ke dalam sistem perpajakan.
Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo mengatakan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) diharapkan dapat menyelesaikan masalah rasio pajak (tax ratio) yang stagnan di tengah PDB per kapita Indonesia yang terus meningkat.
"Kami coba masukkan ke dalam sistem yang pengecualian-pengecualian. Kami cari jalan keluar. Bagaimana tetap ada pengecualian, tetapi semuanya bisa masuk ke dalam sistem," katanya dalam acara sosialisasi UU HPP, Jumat (21/1/2022).
Andreas berharap pengurangan barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN ini membuat transaksi barang dan jasa dari hulu ke hilir dapat terdeteksi otoritas pajak. Alhasil, sektor informal diharapkan mulai masuk ke dalam sistem pajak DJP.
Untuk diketahui, UU HPP menghapus beberapa barang dan jasa seperti bahan pokok, jasa pendidikan, serta jasa kesehatan dari barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN sebagaimana diatur pada Pasal 4A UU PPN.
Melalui UU HPP, barang dan jasa yang selama ini dikecualikan nantinya akan menjadi BKP/JKP yang diberikan fasilitas pembebasan PPN. Hal ini diatur pada Pasal 16B UU PPN yang diubah dengan UU HPP.
Pada Pasal 16B tersebut, BKP/JKP yang mendapatkan pembebasan PPN antara lain bahan pokok, jasa kesehatan tertentu yang berada dalam sistem JKN, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja.
Seluruh ketentuan baru mengenai PPN yang tertuang pada UU HPP akan mulai berlaku pada 1 April 2022. Khusus untuk peningkatan tarif PPN menjadi 12%, tarif baru ini berlaku paling lambat tahun 2025. (rig)