Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Disahkannya UU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) mendorong pemda untuk menganggarkan pajak dan retribusi daerah dengan lebih baik.
Merujuk pada Pasal 102 ayat (1) UU HKPD, penganggaran pajak dan retribusi daerah pada APBD setidaknya harus mempertimbangkan kebijakan makroekonomi daerah dan potensi pajak serta retribusi di daerah.
"Kebijakan makroekonomi daerah ... meliputi struktur ekonomi daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing daerah," bunyi Pasal 102 ayat (2) UU HKPD, dikutip Jumat (10/12/2021).
Kebijakan makroekonomi daerah harus diselaraskan dengan kebijakan makroekonomi regional dan kebijakan makroekonomi yang menjadi dasar dalam penyusunan APBN.
Mengacu juga pada working paper DDTC yang berjudul 'Mempertimbangkan Reformasi Pajak Daerah berdasarkan Analisis Subnational Tax Effort', 113 kabupaten/kota di pulau Jawa secara rata-rata tercatat mampu melampaui target penerimaan pajak daerah yang ditetapkan pada APBD.
Pada 2019, rata-rata realisasi pajak daerah mampu mencapai 127% dari target. Hal ini berbanding terbalik dengan kinerja penerimaan pajak oleh pemerintah pusat yang tidak pernah mencapai target sejak 2008.
Memang, berdasarkan paper tersebut, basis pajak daerah cenderung lebih stabil karena dipungut atas konsumsi dan kekayaan. Namun, terdapat indikasi penetapan target pajak daerah di kabupaten/kota tidak didasari dengan analisis potensi, tapi dengan proyeksi pertumbuhan berbasis data historis.
Penetapan target pajak berbasis data historis bisa berimplikasi terhadap waktu yang diperlukan oleh daerah untuk mencapai kemandirian fiskal.
Seharusnya, penetapan target pajak daerah didasari kepada pengukuran potensi pajak di daerah masing-masing sembari memperhatikan pertumbuhan ekonomi pada tahun anggaran. (sap)