Ilustrasi. Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Boyolali menunjukkan hasil temuan rokok tanpa cukai yang dijual di Pasar Simo, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (19/8/2021). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menargetkan penerimaan cukai senilai Rp203,92 triliun pada RAPBN 2022, tumbuh 12% dibandingkan dengan proyeksi penerimaan cukai 2021 sejumlah Rp182,2 triliun.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan mengatakan pelaku usaha khawatir pertumbuhan target penerimaan tersebut akan diikuti dengan kenaikan tarif cukai hasil tembakau.
Dia meminta pemerintah menahan kenaikan tarif cukai untuk memberikan ruang bagi industri hasil tembakau pulih dari tekanan pandemi Covid-19. "Saat ini, kondisi industri hasil tembakau sangat terpuruk akibat pandemi yang berkepanjangan," katanya, Kamis (19/8/2021).
Henry menuturkan tren penjualan rokok terus menurun sepanjang pandemi. Misal, penjualan rokok jenis sigaret kretek mesin pada 2020 yang turun 17%. Hingga kuartal II/2021, produksi SKM juga masih -8% secara tahunan. Produksi hingga akhir tahun diperkirakan turun lebih dari 15%.
Menurutnya, penurunan produksi rokok tidak hanya memukul produsen, tetapi juga petani tembakau dan para pekerja. Selain itu, lanjutnya, potensi penerimaan negara dari pos cukai hasil tembakau juga dapat menurun.
Henry menilai kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada situasi pandemi justru dapat menjadi insentif bagi produsen rokok ilegal. Gappri mencatat peredaran rokok ilegal sudah tumbuh subur hingga 15% dari total produksi rokok legal.
Lonjakan peredaran rokok ilegal juga ditunjukkan dengan banyaknya penindakan yang dilakukan Ditjen Bea Cukai (DJBC). Sepanjang 2020, DJBC menindak 8.155 kasus rokok ilegal dengan jumlah sekitar 384 juta batang. Jumlah tersebut 41% lebih banyak dibandingkan dengan 2019.
Pengusaha, lanjut Henry, berkomitmen mempertahankan tenaga kerja, petani, hingga pedagang eceran yang terlibat dalam rantai nilai industri hasil tembakau. Namun, ia berharap pemerintah bisa menahan menaikkan tarif cukai, seperti yang dilakukan Malaysia, Kamboja, Thailand, dan Bangladesh.
"Para pelaku IHT berharap pemerintah dapat memberi perlindungan yang adil, layaknya perhatian ke sektor industri lain selama situasi sulit ini," ujarnya. (rig)