Herman Juwono dan Andy Jayani mewakili Kadin Indonesia dalam pelatihan jarak jauh (PJJ) yang dilakukan secara virtual oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan pada hari ini, Kamis (15/10/2020). (tangkapan layar Zoom)
JAKARTA, DDTCNews – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebut perlunya untuk melakukan pembaruan kebijakan fasilitas perpajakan secara berkelanjutan. Langkah ini menjadi bagian dari upaya untuk menarik investasi lebih optimal.
Herman Juwono dan Andy Jayani mewakili Kadin Indonesia dalam pelatihan jarak jauh (PJJ) yang dilakukan secara virtual oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan pada hari ini, Kamis (15/10/2020). Mereka membedah efektivitas fasilitas perpajakan.
Herman, yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Tetap Perpajakan Kadin Indonesia, menyebut fasilitas perpajakan sudah ada sejak 1967 melalui UU 1/1967. Saat itu, pemerintah memperkenalkan tax holiday dan relaksasi pajak devisa. Kemudian, hingga sekarang, skema fasilitas pajak berkembang.
“Jadi, fasilitas perpajakan ini bukan barang baru karena sudah ada sejak 1967 pada masa awal Orde Baru," katanya dalam acara yang diselenggarakan secara virtual tersebut.
Herman menyebut potensi Indonesia untuk meningkatkan investasi asing masih terbuka lebar. Pasalnya, realisasi investasi pada 2019 senilai Rp809,6 triliun masih tertinggal dari kinerja investasi di China yang menarik investasi asing melalui kawasan dengan fasilitas perpajakan khusus.
Negeri Tirai Bambu itu, lanjut dia, mampu menarik realisasi investasi asing senilai US$1,98 triliun dalam 30 tahun terakhir. Menurutnya, proses perbaikan regulasi fasilitas perpajakan menjadi cara untuk memikat investor asing masuk ke dalam negeri.
Herman mengatakan perbaikan kebijakan harus dibarengi dengan faktor lain, seperti terjaminnya stabilitas politik dan ekonomi, ketersediaan infrastruktur, serta kepastian hukum berusaha.
“Fasilitas perpajakan ini merupakan faktor pemanis untuk merayu investor agar menanamkan modalnya," terang Herman.
Selanjutnya, Andy Jayani menuturkan kebijakan fasilitas perpajakan di Indonesia relatif banyak dan beragam. Fasilitas tersebut mulai dari tax allowance dan tax holiday. Kemudian, terdapat beberapa kawasan khusus yang menawarkan fasilitas pembebasan pungutan pajak dan kepabeanan, seperti kawasan ekonomi khusus dan kawasan berikat.
Andy menyebut salah satu faktor optimalnya pemanfaatan fasilitas perpajakan oleh pelaku usaha dikerenakan rumitnya prosedur. Salah satunya adalah insentif tax allowance, yang sebelum PP 78/2019 terbit, sangat sedikit peminat. Padahal kebijakan tersebut sudah berlaku sejak 2007.
Menurutnya, regulasi fasilitas perpajakan harus terus diperbarui mengikuti perkembangan ekonomi dan kebutuhan pelaku usaha. Agar lebih menarik minat pelaku usaha, menurutnya, perlu dilakukan penyederhanaan regulasi insentif.
Penyederhanaan regulasi tersebut, lanjut Andy, khususnya terkait dengan insentif tax allowance yang beragam jenisnya. Insentif ini mulai dari supertax deduction kegiatan vokasi dan litbang sampai dengan kompensasi rugi fiskal.
"Jadi sektor usaha yang bisa mendapatkan tax allowance sebaiknya disederhanakan agar fokus kepada kegiatan usaha yang dapat memperkuat competitive advantage Indonesia. Selain itu, tidak hanya menyasar sektor manufaktur tapi juga mulai melihat industri digital yang sangat cepat perkembangannya," imbuh Andy. (kaw)