Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Willem Petrus Riwu saat memberikan paparan dalam webinar bertajuk ‘Rasionalitas Target Cukai 2021’, Minggu (30/8/2020).
JAKARTA, DDTCNews—Meski target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) hanya naik tipis, pelaku industri hasil tembakau menganggap target penerimaan cukai yang diusulkan pemerintah tahun depan masih terlalu tinggi.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Willem Petrus Riwu mengatakan target penerimaan CHT sebesar Rp172,8 triliun tahun depan berpotensi membuat kondisi industri berada dalam status rentan atau survival.
"Jika kenaikan target penerimaan dibarengi dengan kenaikan tarif CHT, dampak beban mental bagi industri hasil tembakau pun makin meningkat," katanya dalam webinar bertajuk ‘Rasionalitas Target Cukai 2021’, Minggu (30/8/2020).
Untuk itu, Willem mengusulkan target penerimaan CHT pada 2021 sebaiknya tetap dijaga pada level Rp165 triliun atau sama seperti target tahun ini. Tarif CHT juga diusulkan tidak naik setidaknya untuk 2021 dan 2022.
Untuk 2023, Willem mengusulkan pemerintah untuk tidak meningkatkan tarif CHT lebih tinggi dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya, kenaikan tarif CHT harus sejalan dengan dua indikator perekonomian tersebut.
Selain itu, struktur tarif CHT sebanyak 10 lapisan tarif juga perlu dipertahankan karena struktur tarif tersebut dinilai mampu mempertahankan serapan tenaga kerja, volume produksi, serapan bahan baku lokal, termasuk menekan peredaran rokok ilegal.
Senada, Peneliti dari Universitas Padjadjaran Mudiyati Rahmatunnisa mengatakan target penerimaan CHT dan kebijakan-kebijakan turunnya seperti kenaikan tarif CHT sangat perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap aspek ketenagakerjaan.
Sejak 2006 hingga 2015, ia mencatat total pabrik hasil tembakau telah berkurang drastis dari 4.198 menjadi 712 pabrik. "Mungkin jumlah pabrik ini bisa dibilang ideal, tapi efek lainnya terutama tenaga kerja ini perlu dipertimbangkan," ujarnya.
Lebih lanjut, Mudiyati menilai kenaikan tarif merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pengangguran meningkat. Banyak industri hasil tembakau yang berskala kecil tidak mampu menutup biaya produksi dan kalah bersaing akibat kenaikan tarif CHT.
"Jangan sampai pemerintah berhasil mengejar satu target [menekan prevalensi perokok], tapi ternyata gagal mencapai target yang lain [serapan tenaga kerja]," tuturnya.
Simplifikasi lapisan tarif CHT
SEMENTARA itu, Partner Research and Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji menilai target penerimaan CHT yang ditetapkan pemerintah tahun depan memberikan sinyal ekonomi Indonesia masih rentan.
“Apabila melihat perkembangan pertumbuhan rata-rata tarif CHT dan harga jual eceran (HJE) sebelumnya, target pertumbuhan [penerimaan] CHT tahun depan cukup realistis,” tuturnya.
Bawono juga menyarankan Ditjen Bea Cukai (DJBC) untuk terus melanjutkan roadmap simplifikasi tarif CHT yang sudah pernah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146/2017.
Meski Indonesia sudah memangkas total layer tarif CHT yang mencapai 19 lapisan tarif CHT pada 2010 menjadi tinggal 10 lapisan tarif CHT, lanjutnya, lapisan tarif CHT masih perlu disimplifikasi lebih lanjut.
Sistem tarif CHT yang berlapis-lapis sudah tidak umum digunakan di yurisdiksi-yurisdiksi lainnya. Tercatat, hanya 16% dari 168 negara yang diteliti yang menerapkan tarif CHT lebih dari satu layer.
"Simplifikasi tarif CHT memberikan level playing field antarkarakteristik industri hasil tembakau. Jadi head-to-head sama supaya tidak terlalu banyak pihak yang memanfaatkan lapisan-lapisan tersebut," ujar Bawono. (rig)